Senin, 10 September 2012

AKU DAN PENANTIA


Cinta, setiap hati memiliki kebebasan untuk memilih cinta. Namun, cinta juga memiliki hak untuk memilih hati yang kelak dengan ikhlas mengatakan ‘aku memiliki c-i-n-t-a untukmu’.
Allah menciptakan hal yang paling misterius di dunia ini, hati. Setiap orang memiliki hati yang terkadang sang pemilik hati pun tidak mempunyai daya untuk mencegah hatinya memberikan ‘cinta’ untuk seseorang yang masih menjadi sebuah rahasia.
Matahari yang beranjak terbenam, awan yang menjelma menjadi lukisan raksasa penuh warna, angin yang membawa kedamaian, beberapa burung yang terbang naik-turun di atas bumi, menjadi saksi bahwa, hati manusia memiliki kebebasan memilih bagaimana dia mencintai seseorang.
“Ya Allah, meskipun hamba hanya dapat melihatnya dari sini, izinkanlah hati hamba menjadi seperti angin yang lembut ini. Hingga hati hamba menjadi sedikit lebih dekat dengan hati Kak Ilham,” inilah doa dari hati seorang gadis berkerudung putih saat memandang seorang pemuda tampan. Pemuda tampan itu duduk di atas rerumputan hijau dan tanpa disadarinya, dia telah mempersembahkan alunan melodi indah dari sebuah gitar untuk gadis itu. Dibuai oleh kelembutan angin dan suara ‘ngik-ngik’ ayunannya, gadis itu memandanginya dengan penuh kekaguman. Dari tatapannya, gadis itu telah mengenal pribadi pemuda itu dengan sangat baik. Karena terpaku memandang pemuda itu, gadis itu tidak menyadari kedatangan sahabatnya.
“Door! Syifa, Assalamu’alaikum!” sahabatnya itu langsung duduk di atas ayunan tepat di sampingnya.
“Wa’alaikumsalam,” Syifa menjawab salam dari sahabatnya dengan tenang dan mendorong kembali ayunannya.
“Kamu kok nggak kaget Fa? Padahal aku udah ngumpulin energi buat ngagetin kamu, makan bakso, mie ayam, spaghetti, sushie, rendang, emm… apa lagi ya?” sambil menggigit telunjuk kanannya.
“Riri! Aku tahu, siang tadi kamu cuma makan nasi bungkus pake ikan teri sama kerupuk udang di kantin kan?” tanpa mengubah arah pandangannya.
“Riri, Riri, namaku itu Nuri Anggraini Puspitasari. Hehe, tapi bener juga sih aku cuma makan nasi bungkus tadi. Kamu nglihatin apa sih Fa? (mengikuti arah pandangan Syifa) Oh, dia lagi!”
Syifa hanya tersenyum simpul mendengar celotehan sahabatnya. Meskipun jalinan persahabatan mereka baru terbina sejak dua tahun lalu, Nuri sudah sangat fasih memahami hati sahabatnya yang memang sudah lama, atau mungkin sudah sangat terlalu lama menyimpan sebuah rasa yang indah untuk Ilham. Sementara Syifa terus memandangi Ilham dengan beberapa kedipan mata, Nuri justru memandangi Ilham dengan sorot mata yang tajam. Setiap gerakan jari-jemari Ilham memetik senar gitar, perjalanan kedua bola mata Ilham yang mondar-mandir dari kiri ke kanan mengikuti deretan huruf yang harus memenuhi takdirnya untuk dibenci orang yang malas belajar dan dikagumi orang yang ingin mencari ilmu bermanfaat dunia wal akhirat (mungkin sedikit berlebihan).
“Fa, Ilham itu aneh ya!”
“Aneh?”
“Ya aneh. Lihat aja, dia itu main gitar tapi nggak bisa nikmatin permainannya sendiri. Buku terus kayaknya yang bisa dinikmati. Aku tahu sih, kuliah kedokteran itu emang susah, pake banget malah. Tapi nggak harus gitu juga kan? Harusnya, dia itu bisa menikmati sesuatu yang bisa bikin dia bahagia.”
“Dia nggak aneh Riri. Kak Ilham selalu bahagia nglakuin apa yang dia mau. Sekarang itu, dia nggak belajar, tapi dia main gitar sambil belajar. Aku yakin, Kak Ilham pasti enjoy nglakuin itu semua. Jujur ya Ri, kalau aku dengerin Kak Ilham main gitar kayak gini, hati aku rasanya jadi tenang, adem, terus nada-nada ini, rasanya jujur banget Ri.”
“Huuuh, Syifa lebay deh. Tapi Fa, aku nggak ngerti maksud kamu apa? Soalnya ya, bahasa kamu dalem, terus aneh Syifa. Jadi, sebaiknya kalau ngomong sama aku soal Kak Ilham kamu itu, to do point aja, OKE!”
“Aku nggak bisa Ri, soalnya perasaan aku ini rumit banget rasanya. Bukan rumit sih, tapi campur aduk. Bahagia, takut, malu, deg-degan, semuanya ada.”
“Syifa, bilang aja kalau kamu sayang sama Ilham, you’re falling in love with him. Tapi, kamu sendiri yang bikin rumit perasaan kamu. Harusnya ya, kalau kamu punya rasa itu buat dia, kamu jujur sama dia. Bukan malah menyimpan perasaan itu. Gimana Ilham bisa tahu perasaan kamu Syifa?”
“Kalau aku bisa, aku pasti jujur Ri, karena aku nggak mau mempunyai perasaan ini sendirian. Tapi, aku takut memiliki perasaan ini Ri.”
Mendengar kata-kata Syifa, Nuri menjadi sedikit bingung menghadapi kerumitan perasaan sahabatnya itu. Namun, di tengah keheningannya berpikir dalam kebingungan, “Syifa, kalau hati kamu sudah berani mempunyai perasaan cinta untuk dia, hati kamu juga harus siap buat patah hati. Itu namanya salah satu hukum alam tentang cinta. Kamu bisa kok punya cinta, tanpa efek samping patah hati, cinta dari dan untuk Allah SWT. Hehe.”
“Dalem banget Ri. Tapi, makasih ya. Ngomong-ngomong, siapa yang udah buat hukum alam si cinta itu Ri?” sedikit terkejut mendengar kata-kata yang begitu menyentuh dari sahabatnya.
“Eeem, nggak tahu sih. Aku sendiri bingung Fa, dari mana kata-kata indah dan penuh makna itu muncul. Tapi, emang sih aku punya bakat jadi dokter heart and love, and you’re my first patient.
Syifa hanya bisa menghela nafas panjang melihat sahabatnya yang sedang berpetualang ke langit ketujuh.
Cinta adalah sebuah takdir. Pertemuan hati dengan cinta adalah karena takdir Allah SWT. Salah satu takdir Allah SWT yang paling dinanti oleh hati hamba-Nya.
Sehari berselang, takdir hari ini mempertemukan kembali Syifa dengan cintanya. Siang itu, Syifa harus menemani Nuri bertemu dosen pembimbing akademiknya untuk membatalkan KRSnya di kampus Ilham. Hal yang terlihat sangat sederhana untuk dua buah tanda tangan dosen menjadi hal yang penuh liku untuk Syifa dan Nuri. Mereka berdua harus menunggu sang dosen keluar dari ruang pertemuannya selama dua setengah jam, mengikuti salat jamaah dzuhur terlebih dahulu bersama bapak dosen yang sangat mirip dengan Pak Habibie, dan mendengar sedikit komentar beberapa dosen lain tentang human error Nuri yang sangat unik (bagaimana tidak, Nuri memilih semua mata kuliah dari kelas A sampai F untuk semua dosen, bukan karena lupa memakai kacamata Harry Potter kesayangannya, tapi karena terlalu bersemangat). Untungnya, PA Nuri yang mungkin termasuk daftar tujuh orang di dunia yang sangat-sangat mirip Bapak B.J. Habibie, bersedia bersabar memberikan senyuman hangat dan beberapa wejangan untuk Nuri dan Syifa.
“Alhamdulillah ya Allah! Untung ya Fa, Pak Yusuf baik, baiiiik banget. Fiuh…. Syifa, aku lega banget. Ya ampun!” sambil terus berjalan, meremas-remas jari-jarinya yang masih dingin tanpa menyadari bahwa Syifa bertemu lampu merah tepat di depan ruang laboratorium.
Lampu merah yang membuat jantung Syifa berdetak lebih kencang dan membuat kedua tatapannya fokus pada satu titik dengan penuh kekaguman. Ilham ada tepat di hadapannya, di dalam ruang laboratorium itu. Namun, perasaan aneh yang seakan membuat hatinya harus terombang-ambing karena perasaannya untuk Ilham, muncul tiba-tiba. Di dalam ruangan itu, Ilham dan seorang temannya sedang berkonsultasi dengan seorang dosen. Ilham dan teman di sampingnya itu tampak begitu akrab, saling memahami satu sama lain, dan mereka mempunyai sesuatu yang tidak pernah dimiliki Syifa bersama Ilham, sebuah kehangatan. Syifa berkata dalam hatinya, “Kak Ilham dan dia kayaknya deket banget. Dia cantik, pinter, dan kayaknya baik banget. Ya Allah, apa ini saatnya aku harus berhenti menyimpan rasa ini untuk Kak Ilham? Tapi kenapa rasanya masih sangat berat merelakan perasaan ini untuk pergi.”
Rupanya dosen Ilham menyadari keberadaan Syifa yang tampak begitu jelas dari kaca bening laboratorium. Dosen itu menggerakkkan kaca matanya naik-turun, memperhatikan Syifa dalam-dalam. Ilham dan temannya pun mengikuti arah pandangan dosen mereka. Menyadari itu semua, Syifa langsung menunduk, kemudian perlahan berjalan mengendap-endap sejauh sepuluh meter menjauhi laboratorium itu. Dari kejauhan, Nuri terlihat masih sibuk berbicara sendirian mensyukuri nikmat Allah SWT karena mendapat dosen PA yang super duper baik. Beberapa mahasiswa yang ada di sekitar rute perjalanan Syifa dan Nuri memperhatikan sikap aneh Nuri, kemudian melihat Syifa berjalan menegendap-endap di depan ruang laboratorium. Mereka hanya tersenyum kecil dan berkomentar seperti ini, “Maybe, there are something wrong in our campus, or the two girls are unique and strange.” Ternyata hari ini bukan hanya hari yang penuh liku, namun juga hari yang penuh kegalauan untuk Syifa.
Setiap hati pasti akan menemui kegalauan dalam cinta. Tapi, saat itulah mereka belajar tentang cinta.
Sesampainya di rumah, belum ada yang berubah dengan perasaan Syifa. Tentang semua rasa cintanya untuk Ilham, rasa cemburunya, rasa ketakutannya, dan rasa keraguan akan perasaannya. Apakah hatinya harus merelakan atau memperjuangkan cinta. Semuanya seperti menumpuk menjadi satu, menjadi beban di hati dan pikiran Syifa.
Di teras rumah, Syifa melihat ibunya memotong-motong daun singkong yang segar dan hijau untuk membuat buntil, makanan favorit ayah Syifa. Setelah melepas kedua sepatunya, Syifa mencium tangan ibunya.
“Wa’alaikumsalam Syifa,” ibu Syifa mengingatkan putrinya untuk memberi salam.
“Maaf Bu, Syifa lupa. Kalau gitu, Assalamu’alaikum, ibu Syifa yang paling cantik dan baik,” sambil memberikan senyuman.
“Syifa, Wa’alaikumsalam lagi. Syifa, kenapa? Ada masalah di kampus?” menatap Syifa.
“Syifa nggak apa-apa kok Bu. Tapi, mungkin buntil yang akan ibu masak ini sama seperti hati Syifa sekarang. Rasanya enak, tapi ada pahitnya juga. Kalau nggak beruntung, pahit banget.”
“Syifa mau cerita sama Ibu? Apa sih, yang bisa membuat hati anak ibu ini serasa seperti buntil?”
“Tapi Syifa malu ceritanya Bu.”
“Syifa yakin nggak mau cerita? Apa Syifa mau cerita aja sama ayah nanti? Tapi, kalau Syifa juga nggak mau cerita sama ayah, ibu percaya Syifa pasti bisa menghadapi masalah Syifa,” berusaha membujuk putrinya.
“Ayah? Nanti kalau Syifa cerita ke ayah pasti ayah ngejek Syifa. Syifa cerita sama Ibu aja ya (tersenyum malu). Sebenernya, Syifa bingung sama hati Syifa sendiri Bu. Menurut Ibu, cinta itu apa juga harus mengikuti perkembangan zaman? Jadi, cinta zaman sekarang juga harus modern, seperti zamannya. Atau Syifa harus memperlakukan cinta Syifa dengan cara yang sederhana. Karena buat Syifa, cinta itu sederhana.”
“Hihi…. Anak ibu baru jatuh cinta ternyata. Cinta sederhana, cinta ala Khahlil Gibran ya?” sambil tersenyum geli dan bahagia melihat putrinya telah mengenal cinta.
“Tu kan. Ibu senyum-senyum, apalagi Ayah. Syifa salah ya Bu, kalau Syifa berharap suatu saat akan ada seseorang yang bisa memahami cinta Syifa, meskipun selama ini Syifa jauh dari dia. Syifa hanya bisa memandang dia, mendengar suara gitarnya yang buat Syifa itu semuanya adalah kejujuran hatinya, mengagumi dia, dan Syifa nggak pernah punya keberanian untuk jujur ke dia tentang rasa cinta Syifa buat dia. Kata orang, cinta itu sumber kebahagiaan. Tapi kenapa cinta yang Syifa miliki cuma bisa buat Syifa sedih,” Syifa memandang kedua mata ibunya dengan mata yang sudah mulai basah.
“Huuh…(menghela nafas panjang). Syifa masih yakin kalau di dunia ini ada cinta yang sederhana?”
“Sebenernya, Syifa masih yakin nggak yakin Bu.”
“Allah sudah menggariskan takdir yang terbaik untuk seluruh hamba-Nya karena Allah mempunyai cinta yang tidak terhingga untuk seluruh hamba-Nya, begitu juga untuk Syifa. Cinta yang paling tulus, paling indah, paling suci, paling berharga hanya milik Allah. Allah menganugerahkan hati pada setiap manusia yang salah satu tugas hati adalah untuk mempunyai cinta. Tapi terkadang, manusia tidak memahami bagaimana hatinya memilih cinta. Kalau Syifa sudah mempunyai keyakinan, suatu saat nanti Allah akan akan mempertemukan Syifa dengan jodoh Syifa, yang entah itu dengan cinta yang sederhana atau rumit, Syifa hanya perlu melakukan satu hal,” sambil sedikit tersenyum penuh tanda tanya untuk Syifa.
“Satu hal?”
“Syifa berdoa kepada Allah agar mendapat kekuatan untuk meneguhkan hati Syifa. Keteguhan hati agar Syifa dapat menjaga hati Syifa untuk Allah. Dan Syifa juga harus memohon kepada Allah agar siapapun jodoh Syifa nanti, kelak dia juga akan selalu berusaha menjaga hatinya untuk Allah. Sampai suatu saat nanti, kalian berdua bertemu dalam keadaan yang baik karena Allah SWT. Jodoh itu memang harus dicari. Setiap manusia mempunyai cara dan jalan yang berbeda untuk dipertemukan dengan jodohnya. Tapi Allah mempunyai metode paling canggih untuk mempertemukan hati hamba-hamba-Nya.”
“Terima kasih ya Bu. Hati Syifa jadi lebih adem sekarang. Meskipun jodoh Syifa nanti ternyata bukan dia, tapi insyaallah Allah akan mempertemukan Syifa dengan jodoh yang terbaik untuk Syifa. Syifa akan selalu berdoa dan berusaha agar suatu saat nanti Syifa dapat bertemu jodoh Syifa karena Allah. Betemu dia yang akan selalu menjaga hatinya untuk Allah. Amiin,” memeluk ibunya dengan sangat erat dan akhirnya daun singkong yang ada di pangkuan ibu Syifa jatuh di atas lantai.
“Syifa!”
“Hehehe, maafin Syifa, Bu. Nggak sengaja Syifanya. Tapi ibu janji  ya, sama Syifa  kalau ibu nggak akan cerita sama Ayah soal hati Syifa yang galau ini. Soalnya, kalau ayah tahu pasti…. Pokoknya nyebelin. Ibu.., janji… (berusaha merayu dengan wajah penuh kepolosan).”
“Hehehehe…. Ibu, gimana ya? Ibu janji, ibu akan menjaga rahasia kegalauan hati Syifa ini. Tapi, ibu juga janji kalau suatu saat ayah harus tahu rahasia Syifa, ibu akan mengizinkan ayah tahu tentang rahasia Syifa ini. Adil kan?”                                                                                                 
“Ibu? Pokoknya, ini rahasia Syifa sama ibu. Tapi kalau ibu janji seperti itu, nggak apa-apa sih. Tapi-tapi Bu, gimana caranya Syifa berusaha mencari  jodoh Syifa?”
“Suatu saat nanti, Syifa pasti akan mengerti. Yang penting, Syifa rajin berdoa, patuh pada orang tua, kuliah dulu yang bener, dan….”
“Dan belajar mengikhlaskan cinta…. karena cinta itu sederhana.”
“Syifa!”
Terkadang, cinta berarti bersahabat dengan penantian. Penantian, sebuah perjalanan untuk menemukan takdir tentang cinta.
Perjalanan cinta Syifa membawanya pada sebuah penantian yang cukup panjang. Rupanya, satu setengah tahun belum cukup bagi Syifa untuk berhenti bersahabat dengan penantian cintanya. Namun, banyak perubahan yang terjadi dalam diri Syifa. Perubahan yang terjadi karena mengikuti kata hatinya untuk menjaga kesetiaan cintanya untuk Ilham. Cintanya untuk Ilham membuatnya lebih bersemangat menjalani kehidupan dan tidak pernah berhenti untuk memiliki harapan. Cintanya untuk Ilham, membuat kehidupan Syifa lebih bermakna karena takdir cinta membimbing Syifa untuk lebih mendekatkan diri kepada Allah SWT, pemilik hati seluruh umat manusia.
Selama 548 hari, hampir setiap senja menjelang Syifa selalu mengunjungi sebuah taman yang masih menyimpan kenangan indahnya, meskipun hanya kenangan milik satu. Syifa duduk di atas ayunan untuk sedikit mengingat Ilham yang dulu selalu memetik senar gitar di kejauhan, mengagumi kejujuran alunan nada dari gitar Ilham. Selama 548 hari itulah, Syifa tidak lagi bisa bertemu dengan pangeran hatinya. Ilham harus menempuh pendidikan Ko-As sekitar satu setengah tahun di sebuah rumah sakit di daerah Bondowoso. Sedangkan Syifa, dua bulan lagi, dia akan memperoleh gelar sarjana keperawatan.
Sampai detik ini berjalan, Syifa masih menjaga rasa itu untuk Ilham. Namun, Syifa harus menghadapi pilihan yang sangat berat dalam penantiannya dan semuanya harus berubah. Malam itu, ayah dan ibu Syifa memanggil Syifa untuk membicarakan sebuah hal yang sangat penting untuk masa depan Syifa. Syifa duduk di atas kursi beranyam bambu yang baginya adalah kursi yang paling nyaman. Krek…krek… (sedikit bunyi yang muncul dari kursi bambu itu). Syifa masih mencari posisi duduk paling nyaman ketika kedua orang tuanya terus memandangi Syifa.
“Syifa?”
“Iya Yah,” memandang wajah kedua orang tuanya yang tepat duduk di hadapannya, “Syifa udah boleh minum teh ini Bu?” Mendengar pertanyaan putrinya, ibu Syifa hanya tersenyum hangat.
“Syifa?” ayah Syifa kembali menegur Syifa sambil menyempurnakan posisi pecinya.
“Iya Yah. Syifa tahu, Ayah dan Ibu ingin menyampaikan sesuatu yang sangat-sangat penting. Tapi, Syifa boleh minum dulu kan Yah?”
“Heh… Syifa!” Ayah mengizinkan Syifa untuk minum segelas teh di depannya. Setelah itu, “Ayah dan Ibu tahu, mungkin apa yang akan Ayah sampaikan nanti berat untuk Syifa. Tapi, Ayah tetap harus menyampaikan ini semua. Syifa sekarang sudah dewasa, meskipun bagi Ayah, Syifa masih putri kecil Ayah. Sebentar lagi, sudah saatnya Syifa memenuhi sunatullah untuk membina rumah tangga.” Ayah menghela nafas panjang melihat putrinya terus memandangi wajahnya. “Dulu, Ayah dan sahabat kecil Ayah pernah berjanji. Suatu saat nanti, kami berdua akan menjodohkan putra-putri kami kalau Allah meridhai. Satu bulan yang lalu, Ayah bertemu lagi dengan sahabat Ayah itu. Sahabat ayah, punya dua orang anak. Satu anak perempuan yang sekarang sudah menikah dan satu anak laki-laki yang sudah mempercayakan jodohnya nanti kepada kedua orang tuanya. Syifa, kami berdua sudah berbicara banyak hal tentang putranya dan tentang Syifa. Insyaallah, Ayah dan sahabat Ayah akan melaksanakan janji kami untuk menjodohkan Syifa dengan putranya.” Syifa mengalihkan pandangannya kepada wajah ibunya yang sejak tadi tampak mencemaskan keadaan Syifa. Ayah Syifa memahami hati putrinya yang mengharapkan bantuan dari ibunya, “Ayah juga sudah membicarakan ini semua dengan Ibu. Ibu sudah menceritakan banyak hal tentang hati Syifa selama ini. Ayah mengerti perasaan Syifa. Syifa tidak perlu takut. Ayah akan tetap melaksanakan janji Ayah, putra sahabat Ayah memang sudah menerima perjodohan itu. Tapi, keputusan akhir perjodohan ini ada di tangan Syifa. Syifa bebas menentukan pilihan Syifa. Ayah dan Ibu tidak akan pernah memaksa Syifa untuk menerima perjodohan ini. Syifa pasti lebih tahu, mana yang terbaik untuk Syifa.”
Ada beban sangat besar yang telah terangkat dari pundak Syifa. Namun di sisi lain, Syifa berkali-kali lipat lebih bingung untuk menentukan keputusan tentang perjodohannya. Ada banyak hati yang terlibat, ada banyak orang yang memberi kepercayaan pada Syifa, dan sekarang ada banyak keraguan dalam penantiannya.
“Satu bulan. Syifa perlu waktu satu bulan untuk menentukan keputusan ini Yah, Bu,” tanpa memiliki keberanian memandang wajah kedua orang tuanya. Ayah Syifa hanya menganggukkan kepala dan tersenyum. Beliau memahami bahwa sekarang putrinya dihadapkan pada dua pilihan dan kenyataan yang mungkin sangat berat dalam hidupnya.
Keesokan harinya, Syifa masih berharap tadi malam hanyalah sebuah mimpi, yang entah itu  buruk atau baik. Syifa duduk di atas tempat tidurnya dengan dua pandangan penuh keraguan. Wajah yang biasanya penuh harapan, kini menjadi wajah yang penuh kebimbangan.
“Ya Allah, bagaimana Syifa harus memilih?” Syifa menghapus air mata yang mulai menetes.
Beberapa saat kemudian, ibu Syifa mengetuk pintu kamar Syifa dan perlahan mendekati putrinya. Beliau membelai lembut putrinya dan berusaha sedikit meringankan beban yang ada di pundak putrinya.
“Bu, apa Syifa harus tetap memilih?”
“Ibu tahu, ini semua sangat sulit untuk Syifa. Tapi dengan ini semua, Syifa bisa belajar untuk dewasa memilih setiap keputusan dalam hidup Syifa.”
“Tapi bagaimana kalau keputusan Syifa nanti salah Bu? Bagaimana kalau nanti Syifa menyakiti hati banyak orang, termasuk Ibu dan Ayah. Syifa takut Bu.”
“Siapa yang dapat menjamin kalau keputusan Syifa nanti benar ataupun salah? Setiap orang pasti pernah membuat kesalahan. Tapi saat itu pula, mereka sedang belajar. Syifa, kebenaran semua hanya datang dari Allah. Sedangkan manusia, berusaha agar keputusan mereka, perbuatan mereka benar di mata Allah. Sekarang Syifa sebaiknya salat istikharah, mohon petunjuk kepada Allah, agar Syifa dapat mengambil keputusan yang terbaik untuk Syifa,” mencium kening putrinya.
“Makasih Bu. Syifa nggak tahu harus bagaimana lagi kalau di samping Syifa nggak ada Ibu dan Ayah,” akhirnya senyuman dapat terkembang di wajah Syifa. Syifa mengikuti saran ibunya untuk salat istikharah, memohon petunjuk kepada Allah SWT, agar dapat mengambil keputusan yang terbaik untuk hal terbesar dalam hidup Syifa. Di dalam doa Syifa,
“Ya Allah, sekarang hamba tidak tahu lagi harus bagaimana menghadapi semua ini. Hamba  benar-benar takut kalau hamba akan menyakiti orang-orang yang hamba sayang. Hamba hanya dapat memohon petunjuk kepada Engkau ya Allah. Ya Allah, Engkau pasti lebih mengetahui hati hamba. Engkaulah pemilik hati seluruh umat manusia di dunia ini. Saat ini hati hamba berada di antara dua pilihan. Antara membahagiakan hati banyak orang dengan menerima perjodohan ini atau menunggu cinta hamba yang sampai sekarang hamba pun masih belum mampu mengikhlaskan dia untuk memilih yang cinta lain. Antara mempererat tali silaturahmi dua orang sahabat atau mengharap sebuah ikatan antara dua hati yang belum pasti. Sampai saat ini, hamba masih belum mampu mengambil keputusan. Hanya kepada Engkaulah hamba memohon petunjuk tentang pilihan hamba nanti ya Allah. Hanya kepada Engkaulah hamba berserah dan berpasrah. Hamba yakin dan tidak pernah berhenti untuk kehilangan harapanbahwa suatu saat nanti, Engkau pasti akan menunjukkan jalan yang terbaik untuk hamba dan orang-orang yang hamba sayangi….”
Hati mempunyai kebebasan memilih cinta. Dan cinta yang tumbuh di hati manusia karena takdir Allah SWT. Setiap takdir yang dialami manusia adalah keajaiban. Dan cinta, adalah sebuah keajaiban….
Hari demi hari kembali harus berlalu, dua puluh sembilan hari telah berlalu untuk Syifa. Akan tetapi, Syifa masih belum mengambil keputusan. Pada malam ke dua puluh sembilan ini, perasaan dan pikiran Syifa sangat kalut. Setiap hari, Syifa masih menanti kedatangan Ilham. Sejak Syifa mengetahui rencana perjodohannya, dia masih belum mengubah kebiasaannya yang mengharap kehadiran Ilham di taman, meskipun Ilham belum pernah menyadari Syifa dan perasaannya, hingga harapan itu perlahan mulai hilang. Pada momen penting dalam hidup Syifa ini, Allah memberi kado kecil untuk Syifa, kabar dari sahabat kesayangannya, Nuri. Ibu Syifa memberi sebuah amplop coklat yang cukup berat dan datang pada saat yang tepat (meskipun harus pukul sebelas malam). Ternyata, Pak Pos di samping rumah Syifa dengan senang hati mengirimkan surat untuk Syifa.
Syifa membuka surat yang berstempel super-super kilat dengan nama pengirim yang sangat besar “NURI ANGGRAINI PUSPITA SARI”. Belum membaca surat itu, senyum sudah terkembang di wajah Syifa. Ternyata bukan sepucuk surat di dalam amplop itu, tapi sekeping CD bergambar Patrick Star. Syifa membolik-balik CD itu dan sangat penasaran dengan isinya. Syifa segera membuka laptopnya, menunggu beberapa saat booting start process, dan memutar CD itu. Suara pertama yang terdengar adalah salam Nuri dengan nada penuh semangat yang cukup mengagetkan Syifa, “Nuri! Mau di Jogja sama di Banjarmasin sama aja ni anak. Fiuh!” Dan…
“Syifa…! Kamu pasti kangen banget deh sama aku. Hehe, maaf ya Fa aku baru bisa ngasih kabar kamu sekarang. Soalnya di Banjarmasin aku sibuk banget. Jeng…jeng…! Kakak aku dua minggu lagi menikah Fa. Udah gitu, aku masih bingung cari cara biar aku bisa ngomong panjang lebaaar sama kamu. Sampai akhirnya, aku bisa nemuin CD ini Fa.
Email kamu udah aku terima Fa, salam balik buat keluarga kamu ya Fa. Aku sama keluarga aku alhamdulillah juga sehat. Terus, besok pas wisuda aku bakal bawa kejutan buat kamu, soalnya aku bakal bawa seseorang yang sangat spesial dalam hidup aku baru-baru ini, dia calon tun…. Syifa, aku keceplosan lagi, ya ampun! Nggak jadi kejutan dong. Tapi nggak apa-apa deh.
Fa, gimana, kamu masih setia nunggu Ilham? Sebenernya, aku kagum sama prinsip kamu buat nunggu Ilham. Kamu percaya pada hati kamu, meskipun dia nggak pernah tahu. Awalnya aku ngerasa kalau itu konyol, tapi aku tahu kamu tulus sayang sama Ilham. Kalau kamu bisa jujur sama hati kamu tentang cinta kamu, kenapa kamu harus takut untuk jujur pada Ilham Fa? Perjuangin cinta kamu ya Fa! Jangan takut mengejar cinta kamu!
‘Hatiku memiliki kebebasan untuk memilih cinta. Tapi cinta itu memang penuh misteri, karena suatu saat hatiku juga harus mengalah untuk cinta.’ Meskipun sebenarnya aku belum memahami syair itu, tapi cocokkan buat kamu Fa, Syifa yang sedang dalam penantian cinta. Syifa, kamu sahabat aku yang paling aku sayang. Kamu udah seperti adikku sendiri. Karena itu, aku harap suatu saat nanti kamu bisa mendapatkan cinta kamu. Syifa, Syifa! Semangat Syifa!
Fa, ini dulu ya, see you next moon. Wassalamu’alaikum”
Mendengar pesan Nuri dari dalam CD itu, Syifa seolah menemukan sebuah jawaban untuk permasalahannya. Hampir dua puluh empat kali Syifa memutar CD itu. Mungkin di dalam pesan Nuri ada petunjuk dari Allah untuk pilihan Syifa, “Ya Allah, apa keputusan ini yang harus Syifa ambil. ‘Suatu saat hatiku juga harus mengalah untuk cinta.’ Terima kasih ya Allah.”
Keesokan harinya, Syifa telah memantapkan hati mengambil keputusan itu. Di hadapan kedua orang tuanya yang sudah berharap-harap cemas, Syifa akan segera menyampaikan keputusannya.
“Ayah, Ibu Syifa sudah membuat keputusan,” sambil meremas jari-jarinya.
“Alhamdulillah. Apa keputusan kamu Nak?” ayah Syifa tampak begitu berharap.
Sebelum menyampaikan keputusannya, Syifa memandang dalam-dalam wajah ibunya, “Syifa tahu, Ayah dan Ibu pasti mengharapkan kebaikan untuk Syifa melalui perjodohan ini. Insyaallah, Syifa bersedia menerima perjodohan ini. Putra sahabat Ayah sudah mempercayakan pilihan jodohnya kepada kedua orang tuanya. Itu sudah cukup bagi Syifa untuk tahu kalau dia pasti bisa menjaga kepercayaan dan hati kedua orang tuanya. Insyaallah, dia bisa menjaga hatinya untuk Allah. Syifa memang belum mencintai dia, tapi Syifa akan berusaha mencintai dia. Syifa dan dia insyallah bertemu dengan jalan terbaik karena Allah.”
“Bagaimana dengan cinta yang selama ini kamu tunggu Syifa?” ibu Syifa mengkhawatirkan perasaan dan kebahagiaan Syifa karena perjodohan ini.
“Insyaallah ini pilihan hati Syifa Bu. Selama ini Syifa sudah terlalu lama bersahabat dengan penantian Syifa. Walaupun kami belum berjodoh, inilah jalan terbaik untuk kami. Syifa yakin, pasti dia akan menemukan cintanya di suatu tempat dan mungkin bukan Syifa, demikian juga Syifa. Syifa mengalah untuk melepas cinta Syifa pergi, demi kebahagiaan kami dan kebahagiaan hati yang selama ini selalu menyayangi kami,” Syifa berusaha menahan air matanya untuk tidak menetes.
“Ternyata putri kecil Ayah sekarang sudah dewasa, Bu,” sambil tersenyum bahagia, “Tapi Syifa tetap menjadi putri kecil Ayah sampai kapanpun.” Kebahagiaan kembali hadir di dalam keluarga Syifa, setelah melewati hari-hari yang penuh kegalauan.
“Anak sahabat Ayah itu, orangnya seperti apa Yah? Terus, namanya siapa?”
“Nanti malam, kamu akan tahu Syifa,” sambil tersenyum bahagia.
“Nanti malam Yah?”
Lepas dari hari penuh kegalauan, Syifa harus menyapa hari penuh rasa deg-degan. Seharian, ayah dan ibu Syifa membuat persiapan untuk menyambut keluarga sahabat ayah Syifa. Syifa tidak mampu melakukan apapun selain duduk, tiduran, memandangi bayangannya di cermin, dan beberapa kali mendengarkan pesan Nuri. Karena terlalu bingung dengan keadaan di dalam rumah dan perasaan aneh di dalam hati Syifa, Syifa berjalan-jalan di sekitar taman yang menjadi saksi perjalanan cinta Syifa untuk Ilham. Di taman itu pula, perasaan Syifa yang campur aduk antara bahagia, sedih, kecewa, takut, ragu, namun masih begitu indah harus hadir kembali.
Ketika Syifa berjalan menuju ayunan yang ada di sudut taman, Syifa menghentikan langkahnya. Jantungnya berdetak begitu kencang, beban yang begitu berat kembali berada di pundak Syifa saat melihat Ilham ada di atas ayunan kesayangannya. Tidak ada gitar yang dulu lagi di tangan Ilham. Sedikit perubahan tampak dari sosok Ilham dengan kacamata yang baru dilepasnya. Lampu merah kembali menghadang Syifa, namun kali ini lampu merah itu memberikan senyuman yang begitu hangat untuk Syifa. Di dalam hati Syifa seperti ada sesuatu yang memberontak bahwa keputusan yang telah Syifa ambil adalah salah. Namun, mengingat kebahagiaan kedua orangtuanya, hati Syifa menjadi sedikit lebih tenang dan dalam hatinya, “Di depan sana, ada seseorang yang selalu ada dalam penantianku selama ini. Ya Allah, izinkanlah hamba melakukan ini. Mudah-mudahan ini yang terbaik untuk kami. Kak Ilham, mungkin sampai sekarang Kakak belum menyadari perasaan Syifa untuk Kakak. Tapi senyuman Kakak untuk Syifa ini, lebih penting dari sekadar Kakak menyadari perasaan Syifa. Mulai hari ini, Syifa akan berusaha melepaskan cinta Syifa untuk Kakak.” Dan untuk pertama kalinya, Syifa memberikan senyuman hangat untuk pujaan hatinya. Syifa pulang ke rumah dengan perasaan bahagia setelah bertemu Ilham. Karena itu artinya, mimpinya bertemu kembali dengan Ilham telah terwujud hari ini. Memasuki pintu rumah, ibu Syifa langsung memberikan Syifa pakaian serba baru. Rok panjang berwarna putih dari kain sutera, baju pink dengan border yang manis, dan kerudung putih. Ternyata ada banyak hal yang harus Syifa lakukan untuk menyambut keluarga sahabat ayahnya.
Dan malam yang dinanti akhirnya tiba. Suara mobil terdengar berhenti di depan rumah Syifa. Satu persatu, terdengar pintu mobil dibuka, ditutup kembali, dan….
“Assalamu’alaikum,” terdengar salam dari luar rumah. Pintu rumah segera dibuka oleh ayah Syifa dengan cepat.
“Wa’alaikumsalam,” pelukan hangat penuh kebahagiaan antara dua sahabat lama pun terjadi. Keluarga Syifa dan sahabat Ayah Syifa terlihat begitu akrab, seolah tidak pernah ada ruang dan waktu yang memisahkan mereka.
Syifa masih belum berani keluar dari kamarnya. Perlahan, Syifa membuka pintu kamarnya. Sedikit demi sedikit, Syifa berhasil mengamati orang-orang yang baru datang ke rumahnya. Syifa melihat dua orang yang terlihat seperti sepasang suami istri seumuran orang tua Syifa, mereka berdua pasti sahabat ayah Syifa. Di samping mereka, ada seorang perempuan cantik berkerudung biru langit, seorang laki-laki berkaca mata yang mungkin lebih tua dari perempuan itu menggendong seorang bayi, dan seseorang lagi yang kurang begitu jelas terlihat karena terhalang oleh tubuh ayah Syifa yang cukup tambun. Saat Syifa dipanggil untuk segera berkenalan dengan rombongan tamu istimewa itu, Syifa masih belum ingin beranjak dari tempatnya berdiri. Sampai akhirnya, ibu Syifa harus menggandeng Syifa keluar dari kamarnya. Memasuki ruang tamu, Syifa masih menundukkan kepalanya dan perlahan memandang satu persatu orang di ruangan itu.
“Ini Syifa ya? Cantik kan Ham? Syifa, anak tante ini belum pernah punya pacar loh. Saat tante mempertanyakan sikap anak tante itu, dia selalu bilang seperti ini ke tante, ‘Sudah ada hati seorang gadis yang harus Ilham jaga Umi’, dan tante selalu berharap agar Allah menggariskan anak tante dan gadis itu untuk berjodoh. Syifa, gadis itu ada di hadapan tante sekarang,” Syifa hanya bisa tersenyum malu mendengar kata-kata istri sahabat ayahnya itu dan berusaha memperjelas pendengarannya karena ada nama seseorang yang pernah menjadi pujaan hatinya.
Saat Syifa memandang ke arah sosok laki-laki yang sejak tadi belum berhasil dia amati, hanya satu kata yang dapat terucap dari bibir Syifa, “Allahuakbar!”
Itulah salah satu takdir cinta. Putra sahabat ayah Syifa yang akan dijodohkan dengan Syifa adalah Ilham. Ilham, pemuda yang selalu ada dalam penantian Syifa. Selama ini, Syifa menanti cinta Ilham, menjaga hatinya untuk Ilham, sampai akhirnya merelakan perasaannya itu untuk pergi. Dan takdirlah yang mempertemukan Syifa dengan Ilham, seorang pemuda yang menjaga hati Syifa. Siapa pun tidak pernah tahu tentang takdir dan cinta. Syifa memang berusaha menanti cintanya dengan cara yang rumit. Namun Syifa mendapatkan cintanya dengan cara yang sederhana. Karena itulah, cinta yang telah Allah anugerahkan untuk manusia selalu penuh keajaiban.
Pertemuan dua hati yang akhirnya melahirkan rasa cinta memang sangat indah. Suatu saat nanti setiap manusia pasti akan bertemu jodohnya, entah di dunia ataupun di akhirat. Namun, Allah pasti mempertemukan hati hamba-Nya dengan cara yang paling baik dan paling modern yang tidak dapat dicapai oleh peradaban manusia manapun, karena cinta selalu melibatkan dua hati. Karena cinta yang indah selalu membuat hati pemiliknya semakin mencintai Rabbnya, membimbing hati pemiliknya untuk selalu menjadi lebih baik dan bermanfaat.

Tidak ada komentar: