Selasa, 05 November 2013

LOMBA MENULIS CERPEN 2013


LOMBA MENULIS KARYA ILMIAH "GEBYAR PEMUDA MENULIS" 2013


SIFAT DAN ISI TULISAN PADA LOMBA LKTI 2013



Sifat dan isi tulisan memenuhi ketentuan-ketentuan sebagai berikut :
A.      Objektif
1.        Tulisan tidak bersifat emosional atau menonjolkan permasalahan yang subjektif.
2.        Tulisan didukung dengan data dan informasi yang akurat dan terpercaya.
3.        Bersifat original (asli) bukan karya tulis jiplakan.
B.       Logis dan sistematis
1.        Tiap-tiap bagian penulisan dirancang secara sistematis.
2.        Karya tulis memuat unsur-unsur identifikasi masalah, analisissintesis, kesimpulan, dan sedapat mungkin memuat saran-saran atau rekomendasi.
3.        Isi tulisan berdasarkan pada tinjauan pustaka atau hasil pengamatan, tetapi bukan hasil penelitian eksperimental.
C.      Sistmatika  Penulisan
1.        Bagian Awal
a.      Halaman Judul (contoh terlampir).
1)   Judul diketik dengan huruf besar, sesuai dan tepat dengan uraian yang ditulis dan tidak membuka peluang untuk penafsiran ganda.
2)   Lambang perguruan tinggi.
3)   Nama lengkap penulis dan nomor induk Peserta (NIM/OSIS/KEPENDUDUKAN) ditulis dengan jelas.
4)   Nama perguruan tinggi ditulis dengan jelas.
b.      Halaman Pengesahan (contoh terlampir).
1)      Halaman pengesahan memuat judul, nama penulis, dan nomor induk.
2)      Halaman pengesahan ditandatangani oleh Kepala Sekolah/dosen pembimbing dan Dekan/Wakil Dekan Bidang Kemahasiswaan, serta Kelurahan (bagi peserta umum).
3)      Halaman pengesahan diberi tanggal sesuai dengan waktu pengesahan.
c.       Kata Pengantar dari penulis yang menyebutkan judul tulisan.
d.      Daftar Isi dan daftar lainnya yang diperlukan,(daftar tabel, daftar gambar, dan sebagainya).
e.       Ringkasan dibuat tidak lebih dari 2 (dua) halaman yang diketik spasi 1.
2.        Bagian Inti
a.      Pendahuluan
Bagian pendahuluan memuat hal-hal, sebagai berikut:
1)      Latar belakang yang memuat alasan pemilihan topik karya tulis. (Latar belakang didukung dengan data dan informasi yang akurat dan terpercaya.)
2)      Uraian singkat mengenai identifikasi masalah atau rumusan masalah.
3)      Tujuan dan manfaat penulisan yang ingin dicapai melalui penulisan.
b.      Tinjauan Pustaka
Tinjauan pustaka berisi hal-hal, sebagai berikut :
1)      Uraian untuk menunjukkan landasan teori dan konsep-konsep yang relevan dengan masalah-masalah yang dibahas.
2)      Uraian mengenai pendapat para ahli (doktrin) yang berkaitan dengan masalah yang dibahas.
c.       Metode Penulisan
Penulisan dilakukan dengan metode yang ilmiah dengan menguraikan secara cermat prosedur pengumpulan data dan/atau informasi, pengolahan data dan/atau informasi, analisis sintesis, pengambilan kesimpulan, serta perumusan saran atau rekomendasi.
d.      Bagian Isi/Pembahasan
Analisis permasalahan yang didasarkan pada data dan/atau informasi serta pustaka untuk menghasilkan alternatif model pemecahan masalah atau gagasan yang kreatif, idealis, logis, dan implementatif.
e.       Penutup
1)      Kesimpulan harus sesuai dengan analisis permasalahan serta mampu menjawab rumusan masalah.
2)      Rekomendasi atau saran berupa transfer gagasan, operasional solusi, dan implementasinya di dalam masyarakat.
3.        Bagian Akhir
a.      Daftar pustaka harus menuliskan segala sumber pustaka yang dipergunakan sebagai dasar penyusunan karya tulis untuk memberikan informasi sehingga pembaca dapat dengan mudah menemukan sumber yang disebutkan. Daftar pustaka disusun secara alfabetis. Teknik penulisan daftar pustaka menggunakan metode Harvard.
b.      Daftar Riwayat Hidup (Biodata atau Curriculum Vitae) peserta minimal memuat hal-hal yaitu :
1)      Foto Penulis.
2)      Nama lengkap.
3)      Tempat dan tanggal lahir.
4)      Jurusan/Fakultas dan perguruan tinggi.
5)      Nomor telepon dan ponsel.
6)      E-mail.
7)      Alamat rumah.
8)      Karya ilmiah yang pernah dibuat.
9)      Penghargaan-penghargaan yang pernah di raih.
c.       Lampiran (jika perlu).
4.        Teknik Penulisan
a.      Naskah ditulis menggunakan bahasa Indonesia minimal 30 (tiga puluh) halaman dan maksimal 40 (empat puluh) halaman tidak termasuk daftar pustaka. Jumlah halaman yang tidak sesuai dengan ketentuan tersebut dapat mengurangi penilaian.
b.      Bahasa Indonesia yang digunakan hendaknya baku dengan tata bahasa dan Ejaan Yang Disempurnakan (EYD), sederhana, jelas, satu kesatuan, mengutamakan istilah yang dimengerti, tidak menggunakan singkatan seperti tdk, tsb, yg, dgn, dll, dsb.
5.        Pengetikan
a.      Tata Letak
1)      Karya tulis diketik spasi 1,5 pada kertas ukuran A4 (Font Times New Roman 12pt).
2)      Batas Pengetikan :
Kanan : 3 cm
Kiri : 4 cm
Atas : 4 cm
Bawah : 3 cm
3)      Jarak pengetikan bab, sub-bab, dan perinciannya :
a)      Jarak pengetikan antara judul bab dan sub-bab spasi 3, sub-bab dan kalimat dibawahnya spasi 2.
b)      Judul bab diketik di tengah-tengah dengan huruf kapital dan bold dengan jarak 4 cm dari tepi atas dan tanpa digarisbawahi.
c)      Judul sub-bab ditulis mulai dari sebelah kiri dan bold, huruf pertama setiap kata ditulis dengan huruf kapital, kecuali untuk kata-kata tugas, misalnya yang, dari, dan, dan sebagainya.
d)     Judul anak sub-bab ditulis mulai dari sebelah kiri dengan indensi 5 (lima) ketukan dan diberi garis bawah. Huruf pertama setiap kata ditulis dengan huruf kapital, kecuali kata-kata tugas seperti yang,, dari, dan, dan sebagainya.
e)      Jika masih ada sub-bab judul dalam tingkatan yang lebih rendah ditulis seperti pada butir (c) di atas dengan italic tanpa bold.
b.      Pengetikan Kalimat
Alinea baru diketik sebaris dengan baris di atasnya. Pengetikan kutipan langsung yang lebih dari tiga baris diketik spasi 1 (satu) menjorok ke dalam dan tanpa diberi tanda petik.
c.       Penomoran Halaman
a)      Bagian pendahuluan yang meliputi halaman judul, halaman pengesahan, kata pengantar, daftar isi, dan ringkasan memakai angka romawi kecil dan diketik sebelah kanan bawah (i, ii, iii, iv, dan seterusnya).
b)      Bagian inti yang diawali dengan bab pendahuluan hingga bab penutup memakai angka arab dan diketik pada kanan bawah (1, 2, 3, 4, dan seterusnya), kecuali pada awal setiap bab, bagian tersebut tidak diberi nomor halaman.
Jika masih terdapat hal-hal yang belum dimengerti dipersilahkan menghubungi panitia yang telah ditentukan oleh pembimbing KARISMA BANTEN. Terima Kasih.

KEKERASAN TERHADAP PEREMPUAN BUKANLAH AJARAN ISLAM



Glendale Heights, Illinois – Suatu hari saya terkejut mendengar radio Laporan Komisi Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia mengenai meluasnya tindakan perkosaan di Afghanistan. Sebagai seorang Muslim yang tahu bahwa keadilan dan belas kasih adalah inti agama Islam, saya bertanya pada diri sendiri mengapa para pelaku tindakan tersebut telah jauh melenceng dari akidah dan nilai-nilai dasar perikemanusiaan.
Ajaran tentang kasih sayang, belas kasih dan keadilan, yang merupakan inti ajaran Islam, termasuk bagaimana perempuan diperlakukan, telah terlampau sering dilupakan saat ini. Yang lebih ironis, ayat-ayat al-Qur'an tertentu telah disalahtafsirkan untuk membenarkan kontrol-atau bahkan tindak kekerasan-terhadap perempuan.
Al-Qur'an secara jelas menerangkan bagaimana lelaki dan perempuan semestinya saling mendukung, “Orang-orang beriman, lelaki dan perempuan, sebagian mereka menjadi penolong, pendukung, teman, atau pelindung bagi sebagian yang lain” (Qur'an: 9:71). Namun, ada ayat-ayat tertentu yang terus saja disalahgunakan untuk membenarkan perlakuan tak setara terhadap perempuan, seperti ayat: “Istri-istrimu adalah ladang bagimu, maka datangilah ladangmu itu kapan saja, atau dengan cara bagaimana saja, yang kamu suka” (Qur'an 2:223). Ayat ini disalahtafsirkan oleh sebagian orang sebagai dalil sahnya kontrol laki-laki terhadap tubuh perempuan.
Untuk memahami apa sebetulnya inti ayat tersebut, saya berdiskusi dengan Dr. Maher Hathout, Penasihat Senior di Dewan Pengurus Masyarakat Muslim yang juga seorang pakar tentang Islam. “Sungguh hal yang memalukan dan melecehkan ketika ayat ini ditafsirkan dan digunakan bertolak belakang dengan tujuan sesungguhnya,” ujarnya ke saya. “Ayat itu sebenarnya menegaskan bahwa hubungan intim dengan pasangan kita haruslah atas dasar suka sama suka dan menghasilkan hal-hal yang baik-entah itu keturunan ataupun kedekatan emosional.”


Lalu mengapa ada perbedaan tafsir mengenai makna ayat ini dan juga ayat-ayat serupa yang lain? Dr. Hathout menerangkan: “Faktor-faktor sosial ikut memengaruhi penafsiran ayat-ayat itu. Ini tentang bagaimana kita memilih satu tafsir dari suatu kalimat yang punya berlapis-lapis makna. Dalam masyarakat yang terbiasa memperlakukan perempuan dengan buruk, pemaknaan yang sesuai dengan kebiasaan dan kepentingan mereka lah yang mereka pakai, tanpa mempedulikan kemungkinan tafsir yang lain. [Namun, saat ini] kita harus mencari makna yang lain dan memahami teks tersebut secara berbeda.”
Saat menemui ayat-ayat menyangkut perlakuan pada perempuan yang disalahtafsirkan, “Kkita harus memahami al-Qur'an dengan melihat perbuatan Nabi Muhammad sebagai konteksnya. Dan kita harus ingat bahwa beliau tak pernah menggunakan kekerasan kepada siapapun, apalagi pada istrinya,” ujar Dr. Hathout.
Kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan dalam rumahtangga dan masyarakat Muslim disebabkan oleh kurangnya pengetahuan tentang ajaran agama atau pengabaian yang memang disengaja terhadap ajaran-ajaran Islam-penghormatan dan belas kasih, keadilan dan kasih sayang. Yang harus kita lakukan adalah melihat kembali ajaran-ajaran inti ini dan menyadari bahwa prinsip-prinsip tersebut berlaku setara pada perempuan dan laki-laki.
Setiap harinya, umat Muslim kebanyakan berjuang melawan stereotip dan mispersepsi terhadap Islam, khususnya yang diakibatkan oleh segelintir ekstremis yang telah memutarbalikan aspek-aspek ajaran agama untuk kepentingan mereka sendiri-entah mereka itu para pengebom yang menyerang warga sipil tak bersalah atau anggota keluarga yang menggunakan kekerasan terhadap orang lain dalam rumahtangga mereka.
Meskipun demikian, perubahan total cara berpikir sering kali bermula dari hanya satu seruan yang kuat. Lebih bagus lagi jika seruan ini bersifat lokal. Organisasi perempuan lokal seperti Persatuan Perempuan Revolusioner Afghanistan, adalah salah satunya. Para pemimpinnya setiap hari mempertaruhkan nyawa mereka untuk mendorong para perempuan Afghanistan menyuarakan perlawanan terhadap kekerasan dalam rumah tangga.
Semakin banyak umat Muslim, laki-laki maupun perempuan, bersuara melawan kekerasan terhadap perempuan dan mengingatkan orang-orang bahwa Islam dan al-Qur'an mengajarkan keadilan dan kasih sayang, semakin cepat kita bisa mengoreksi penafsiran-penafsiran keliru atas kitab suci kita.
  
Dunia selalu berubah dengan cepat. Era informasi telah membuat perbuatan-perbuatan tidak manusiawi tak lagi dapat disembunyikan dan memberi mereka yang bersuara panggung yang lebih luas untuk bisa didengar. Walau perjuangan ini panjang dan perlu kerja keras, Saat ini adalah waktu yang tepat untuk menggantungkan harapan.

MENGANGKAT KEARIFAN LOKAL



MENGANGKAT KEARIFAN LOKAL
SEBAGAI BASIS PENGELOLAAN HUTAN LESTARI



PENDAHULUAN
Lingkungan hidup merupakan anugrah Tuhan Yang Maha Esa yang wajib dilestarikan dan dikembangkan kemampuannya agar tetap dapat menjadi sumber penunjang hidup bagi manusia dan makluk hidup lainnya demi kelangsungan dan peningkatan kualitas hidup itu sendiri.[1] Dalam mengejar pertumbuhan ekonomi untuk mendukung peningkatan kesejahteraan sering terjadi pacuan pertumbuhan tidak terduga terhadap lingkungan alam dan lingkungan sosial.[2] Pembangunan yang dilakukan dengan menggali dan mengekslorasi Sumber Daya Alam sering kali tanpa memperdulikan lingkungan, hingga menyebabkan memburuknya kondisi lingkungan dan menimbulkan berbagai masalah.
Pengelolaan pembangunan yang diperkirakan mempunyai dampak terhadap lingkungan dipersyaratkan untuk memperhatikan lingkungan hidup. Dalam perkembangannya, maka setiap aktivitas dalam pembangunan yang bersentuhan dengan lingkungan hidup membutuhkan standar Baku Mutu Lingkungan (BML). Sehubungan dengan hal tersebut, Siti Sundari Rangkuti)[3] menyatakan bahwa  "Baku Mutu Lingkungan diperlukan untuk memberikan pedoman terhadap pengelolaan lingkungan secara konkret; dasar hukumnya terdapat dalam Pasal 14 UUPLH (UU No. 23 Tahun 1997) yang diatur dengan Peraturan Pemerintah (PP)".
Ketentuan ini berbeda dengan Pasal 15 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup yang menetapkan bahwa Baku Mutu Lingkungan diatur dengan peraturan perundang-undangan. Dengan demikian, Baku Mutu Lingkungan merupakan instrumen yang penting dalam pengelolaan lingkungan hidup. Adanya aktivitas atau kegiatan produksi yang tidak sesuai dengan Baku Mutu Lingkungan yang ada, berarti telah terjadi pelanggaran terhadap ketentuan hukum yang berlaku. Pada tingkat tertentu, jika terjadi pencemaran lingkungan, maka hal tersebut dapat diklarifikasikan sebagai suatu tindak pidana terhadap lingkungan hidup. Hal ini dapat diproses secara hukum ke pengadilan.
Adanya keinginan masyarakat melalui LSM lingkungan atau perorangan yang diinformasikan melalu media masa untuk membawa pelaku tindak kejahatan lingkungan ke pengadilan, makin memberi alasan agar pelaku tindak kejahatan terhadap lingkungan harus dibuat jera, agar diproses menurut ketentuan hukum yang ada. Masalah lingkungan tidak selesai dengan memberlakukan Undang-Undang dan komitmen untuk melaksanakannya. Penetapan suatu Undang-Undang yang mengandung instrumen hukum masih diuji dengen pelaksanaan (uitvoering atau implementation) dan merupakan bagian dari mata rantai pengaturan (regulatory chain) pengelolaan lingkungan. Dalam merumuskan kebijakan lingkungan, Pemerintah lazimnya menetapkan tujuan yang hendak dicapai. Kebijakan lingkungan disertai tindak lanjut pengarahan dengan cara bagaimana penetapan tujuan dapat dicapai agar ditaati masyarakat.
Undang-Undang No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPLH) mendasari kebijaksanaan lingkungan di Indonesia, karena Undang-Undang, peraturan pemerintah dan peraturan pelaksanaan lainnya merupakan instrumen kebijaksanaan (instrumenten van beleid). Instrumen kebijaksanaan lingkungan perlu ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan lingkungan demi kepastian hukum dan mencerminkan arti penting hukum bagi penyelesaian masalah lingkungan. Instrumen hukum kebijaksanaan lingkungan (juridische milieubeleidsinstrumenten) ditetapkan oleh pemerintah melalui berbagai sarana yang bersifat pencegahan, atau setidak-tidaknya pemulihan, sampai tahap normal kualitas lingkungan.[4] Dari latar belakang dan landasan sebagaimana yang telah penulis uraikan diatas dapat diketahui letak perumusan masalahnya seperti :
1.      Seperti apa eksistensi Masyarakat adat, lokal, tradisional dalam pengelolaan hutan ?
2.      Aspek pengelolaan Sumber Daya Alam seperti apa yang lebih mengacu terhadap perekonomian selain aspek konservasi dan pelestarian lingkungan ?
3.      Bagaimana langkah masyarakat untuk melakukan Pengelolaan Hutan Lestari melalui Kearifan Lokal ?
Melalui penulisan ini diharapkan eksistensi Masyarakat adat, lokal, tradisional dalam pengelolaan Hutan melalui hubungan antara  Indonesia –Maroko dapat Mengetahui Aspek pengelolaan Sumber Daya Alam seperti apa yang lebih mengacu terhadap perekonomian selain aspek konservasi dan pelestarian lingkungan. Dan mengetahui langkah yang tepat dalam melakukan Pengelolaan Hutan Lestari melalui Kearifan Lokal.

LANDASAN TEORI
Istilah "mutu" dapat menimbulkan pengertian yang ambivalen dan banyak orang yang senang menggunakan istilah "Nilai Ambang Batas". Perbedaan kedua istilah itu adalah bahwa  Mutu Lingkungan mempunyai karakter diwajibkan. Dengan demikian,  Mutu Lingkungan selalu merupkan Nilai Ambang Batas tetapi tidak semua Nilai Ambang Batas merupakan  Mutu Lingkungan selama tidak diwajibkan berdasarkan ketentuan hukum. Karena dari aspek yuridis dan teknis ekologi, fungsi  Mutu Lingkungan dalam pengelolaan lingkungan terutama untuk menentukan ada atau tidak ada pencemaran terhadap lingkungan. Untuk menentukan ada atau tidak ada kerusakan lingkungan, UUPLH mengintrodusir istilah Kriteria Kerusakan Lingkungan (KBKL), bagi kegiatan yang mempunyai "dampak besar dan penting" terhadap lingkungan,  Mutu Lingkungan dikaitkan lebih jauh dengan prosedur AMDL. Mutu Lingkungan harus tercermin dalam rencana pengelolaan lingkungan (RKL). Sementara Problematika Privatisasi belakangan ini menjadi pembicaraan hangat masyarakat setelah pemerintah berulang kali melakukan privatisasi tersebut. Privatisasi diartikan sebagai upaya untuk menghilangkan konsentrasi kepemilikan baik oleh pemerintah maupun swasta.
Padahal kondisi riilnya seperti konsentrasi kepemilikan sangat rawan terhadap kegagalan pasar disebabkan moral hazard dan sebagainya. Selain itu, konsentrasi kepemilikan dapat menimbulkan terjadinya cross-ownership dan cross-management. Di Indonesia isu privatisasi mulai diperkenalkan sejak terjadinya krisis ekonomi 1997. Dilihat secara faktual kebijakan privatisasi bukan merupakan sesuatu yang mudah dalam pelaksanaannya. Dalam dua tahun anggaran terakhir program privatisasi di Indonesia belum mencapai target. Hal ini menunjukkan bahwa privatisasi memerlukan persiapan dan kesiapan perusahaan yang akan di privatisasi.
Hal tersebut terlihat jelas akan berdampak benturan kepentingan, dan penyalahgunaan bank untuk mendukung kepentingan pribadi pengusaha. Kondisi inilah yang dialami perbankan di Indonesia. Oleh karena itu perlunya Undang-Undang Privatisasi[5] yang tidak lepas dari aspek pengelolaan Sumber Daya Alam Industri guna mencegah Dampak buruk akibat dari privatisasi. Selain dari pada itu, penegakan hukum lingkungan semakin penting sebagai salah satu sarana untuk mempertahankan dan melestarikan lingkungan hidup yang baik. Penegakan hukum yang berkaitan dengan masalah lingkungan hidup meliputi aspek hukum pidana, perdata, tata usaha negara dan hukum internasional.
PEMBAHASAN
Tidak dapat dipungkiri bahwa masyarakat adat, lokal, tradisional yang bertempat tinggal di dalam maupun disekitar hutan telah melakukan pengelolaan hutan sejak ratusan tahun yang lalu hingga saat ini secara turun temurun. Pengelolaan hutan tersebut dilakukan berdasarkan kearifan, aturan dan mekanisme kelembagaan yang ada dan mampu serta teruji menciptakan tertib hukum pengelolaan, pengelolaan yang berbasis masyarakat dan pemanfaatannya berdimensi jangka panjang. Dapat dikatakan bahwa tingkat kerusakan hutan yang ditimbulkan sangatlah kecil. Menurut data dari Direktorat Jenderal PHKA (Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam) saat ini terdapat sekitar 2.040 Desa penyangga kawasan konservasi yang jumlah penduduknya mencapai sekitar 660.845 keluarga.[6] Sebagian penduduk tersebut bergantung pada sumber daya alam di kawasan hutan termasuk Propinsi Banten yang memiliki hutan tropis yang luas, namun bersamaan dengan peningkatan jumlah penduduk kualitas dan kuantitas hutan terus mengalami penurunan. Dari sekitar 250 ribu hektar hutan yang ada di Banten, 90 ribu hektar atau 36 persen di antaranya dalam kondisi rusak parah.
Tekanan terhadap ekosistem hutan di bagian utara Banten jauh lebih besar dibandingkan bagian selatan. Bagian utara Banten yang meliputi Kota dan kabupaten Tangerang, Kabupaten Serang dan Kota Cilegon memiliki tingkat kepadatan  penduduk yang sangat tinggi, sehingga eksploitasi sumberdaya alam termasuk hutan, berlangsung cepat dan boros. Di bagian selatan Banten, yang meliputi Kabupaten Lebak dan Pandeglang kerusakan hutan tidak separah di bagian utara. Namun eksploitasi terus berlangsung, sebagai gambaran di kawasan hutan  Gunung Halimun dan Gunung Kendeng, Kecamatan Cibeber, Kabupaten Lebak yang berbatasan dengan Kabupaten Bogor, Jawa Barat dengan kondisi areal tertutup vegetasi hutan tinggal 75-80 % dengan kata lain 20-25 % areal hutan sudah gundul. Sumber daya hutan berada dalam kondisi kritis, Arif Aliadi dalam Haeruman (1995) mengemukakan pada Tahun 1970 luas hutan Indonseia 143,5 Juta hektar. Luas hutan tersebut mengalami penurunan yang cukup signifikan menjadi 104,6 Juta pada tahun 1990, dan pada tahun 2030 diperkirakan luasnya menjadi 61 juta hektar. Apabila dilihat dari nilai uang maka kehilangan riil dari asset berupa hutan mencapai 202 triliun rupiah pada tahun 1990 dan 422 triliun rupiah pada tahun 2030.
Kondisi tersebut akan tetap buruk karena luas hutan tanaman baru pada tahun 2030 diperkirakan baru mencapai 4 juta hektar. Sesungguhnya untuk mengantisipasi kerusakan hutan tersebut, pemerintah Indonesia telah melakukan upaya di antaranya dengan reboisasi hutan melalui program GERHAN (Gerakan Rehabilitasi Hutan dan Lahan) melalui berbagai upaya konservasi berupa pelestarian genetika, jenis dan ekosistem yang dilakukan dalam bentuk penetapan sejumlah kawasan konservasi seperti taman nasional, cagar alam, suaka margasatwa, wisata alam dan hutan lindung. Kawasan konservasi tersebut ditetapkan untuk tujuan (a) perlindungan ekosistem (b) pelestarian sumber daya genetik dan (c) pemanfataan yang lestari. 
Program reboisasi yang dilaksanakan di kawasan hutan dengan melibatkan masyarakat hingga saat terus mengalami kegagalan atas keterbatasan sumber daya manusia kehutanan. Kasus ini menjadi menarik karena ternyata yang menjadi sumber persoalan adalah belum bertemunya dua titik kepentingan antara masyarakat sekitar hutan dengan pengelola. Program-program yang direncanakan dan yang sudah dilaksanakan jarang melibatkan masyarakat sebagai stakeholder pengelolaan hutan. Menurut Munggoro (1998) kegagalan mengatasi krisis lingkungan dan ekonomi telah menyadarkan berbagai pihak untuk menengok kembali apa yang disebut sebagai kekuatan lokal(empowering the local). Pada waktu yang sama, pengakuan akan kemampuan masyarakat dalam mengembangkan dan menggunakan tradisinya untuk membangun hutan yang belum proporsional.
Kurang berhasilnya konservasi disebabkan oleh tidak dipertimbangkan faktor politik, ekonomi dan sosial-budaya. Aspek ekologi meliputi upaya akonservasi untuk mengatasi kerusakan alam. Secara politik ekonomi, konservasi sumber daya hutan harus dilihat berdasarkan kepentingan pusat dan daerah. Berdasarkan UU No. 41 Tahun 1999 tentang kehutanan dan UU No. 29 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah, pengelolaan kawasan konservasi masih ditangani oleh Pemerintah Pusat. Bagi Pemerintah daerah, kawasan konservasi dirasakan sebagai beban yang dikarenakan tidak menghasilkan pendapatan daerah yang signifikan. Hal ini seharusnya tidak boleh terjadi, karena bagaimanpun kawasan konservasi memiliki peran dalam pembangunan daerah, terutama dalam menjaga kelestarian sistem penyangga di seuatu wilayah administrasi. Namun demikian ke depan perlu digali potensi SDA dalam kawasan konservasi yang dapat berperan untuk meningkatkan pendapatan asli daerah. Berikut Jumlah dan Luas Kawasan Konservasi yang penulis himpun secara luas agar dapat dijakan landasan kebijakan pemerintah kuat dalam mengangkat kearifan lokal untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat : 

Tabel 1.1[7]
Rekapitulasi Data Kawasan Konservasi

No


Fungsi Kawasan Konservasi

Jumlah

Luas (Ha)
1
Cagar Alam
243
4.333.630,44
2
Cagar Alam Laut
5
152.610,00
3
Suaka Margasatwa
73
5.052.973,64
4
Suaka Margasatwa Laut
2
5.220,00
5
Taman Nasional
43
12.284.031,34
6
Taman Nasional Laut
7
4.043.541,30
7
Taman Wisata Alam
104
258.469,85
8
Taman Wisata Alam Laut
14
491.248,00
9
Taman Buru
14
225.103,94
10
Taman Hutan Raya
22
344.174,41
Jumlah
537
27.190.992,91
Secara sosial budaya, pengelolaan sumber daya hutan merupakan hal yang sudah biasa dilakukan oleh sekelompok masyarakat tertentu. Banyak contoh menunjukkan keberhasilan masyarakat lokal dalam mengelola sumber daya hutan lestari. Namun berbagai contoh tersebut seringkali terabaikan dalam mengelelola kawasan hutan seperti masyarakat yang mendiami kawasan pantai Anyar kawasan wilayan selatan Kota Cilegon.   Pada dasarnya masyarakat Cilegon mempunyai sistem pengetahuan yang baik mengenai  keanekaragaman sumber daya tumbuhan dan kondisi lingkungan secara turun-temurun. Hal tersebut ditunjukkan dengan cara mengenal keanekaragaman jenis tumbuhan tersebut sekaligus  memanfaatkannya. Bagi masyarakat yang mendiskripsikan bagian-bagian tumbuhan dengan baik dan memberikan penamaan di setiap bagian tumbuhan sangat penting bagi dunia Pendidikan supaya dapat  membedakan jenis satu dengan jenis yang lainnya dengan mengenal keanekaragaman kondisi lingkungan di sekitarnya. 

B.     Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup
Sumber Daya Alam dan lingkungan hidup merupakan sumber kehidupan umat manusia dan makhluk hidup lainnya. Sumber Daya Alam yang telah dikelola akan menyediakan sesuatu yang diperoleh dari lingkungan fisik untuk memenuhi kebutuhan dan keinginan manusia sementara lingkungan dalam arti luas bagi manusia merupakan tempat melakukan aktifitas. Untuk itu, pengelolaan Sumber Daya Alam harus lebih mengacu kepada aspek konservasi dan pelestarian lingkungan.
Eksploitasi Sumber Daya Alam yang hanya berorientasi ekonomi hanya membawa efek positif secara ekonomi tetapi menimbulkan efek negatif bagi kehidupan umat manusia. Oleh karena itu pembangunan tidak hanya memperhatikan aspek hukum, dan aspek ekonomi. Namun lebih mengarah kepada  aspek etika dan sosial yang berhubungan dengan kelestarian, kemampuan, dan daya dukung Sumber Daya Alam. Pembangunan ekonomi industri melalui pemanfaatan Sumber Daya Alam dan lingkungan hidup menjadi acuan bagi kegiatan berbagai sektor pembangunan agar tercipta keseimbangan dan kelestarian fungsi sumber daya alam dan lingkungan hidup sehingga keberlanjutan pembangunan tetap terjamin.
Dalam meningkatkan kapasitas industri sering diwarnai atas terkendala infrastruktur, energi, dan iklim Investasi untuk meningkatkan efisiensi yang terkendala oleh ekonomi biaya tinggi dan rendahnya produktivitas tenaga kerja. Selain hal tersebut masih terjadi kesimpangsiuran dan inkonsistensi regulasi, lemahnya kepastian hukum, dan rendahnya kemampuan untuk mempercepat belanja daerah yang sangat berpengaruh terhadap minat pengusaha untuk berinvestasi. Hal ini menyebabkan perekonomian di sektor riil tidak mampu menyerap ekses likuiditas di pasar keuangan. Kendala yang dihadapi telah diyakini tidak akan teratasi dalam waktu singkat. Ketersediaan energi dan infrastruktur membutuhkan waktu yang cukup panjang, dari 3 hingga 5 tahun untuk mulai menghasilkan energi dan infrastruktur lainnya sebagai kebutuhan dasar setiap industri.
UUD Tahun 1945 Pasal 33 ayat (3) menjelaskan bahwa segala sesuatu mengenai sumber daya alam termasuk di dalamnya air beserta kekayaan alam lainnya berada dalam wilayah teritori NKRI untuk dikuasai, diatur, dikelola, dan didistribusikan oleh pemerintah melalui segenap lembaga pengelola Sumber Daya Alam untuk mewujudkan kemakmuran maupun mensejahterakan rakyat. Sejauh ini pemerintah dinilai telah berusaha menjalankan kewajibannya sehubungan dengan isi ayat pasal tersebut. Sehingga dibentuklah lembaga-lembaga yang ditugasi untuk mengurusi dan mengelola berbagai elemen alam milik bumi Indonesia. Seperti BUMN (Badan Usaha Milik Negara) yang mempunya kewenangan dalam mengelola maupun melestarikan Sumber Daya Alam seperti PAM (Perusahaan Air Minum), Lemigas (Lembaga Minyak dan Gas), Pertamina, PLN (Perusahaan Listrik Negara), dan lain sebagainya. Ini semua menunjukan negara sudah menjalankan kewajibannya sesuai amanah UU diatas sebagai tahap  pertama.
Namun setelah terbentuknya lembaga tersebut tugas pemerintah belum sepenuhnya selesai. Kenyataan yang ada sekarang ini adalah masih banyaknya rakyat yang merasa dirugikan atau kurang diperlakukan dengan adil menyangkut kebutuhannya akan elemen alam tersebut.[8] Pada tulisan ini yang dapat penulis garis bawahi bahwa setiap rakyat pada dasarnya tidak mengalami kesulitan dalam memperoleh hal-hal tersebut mengingat negara Indonesia kaya akan Sumber Daya Alam yang dilihat dari berbagai unsur-unsur alam. Praktek salah urus dalam pengelolaan Sumber Daya Alam bermuara dari kebijakan yang menuai kecaman banyak pihak yaitu Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Berikut aspek-aspek Sumber Daya Alam dan Lingkungan hidup :
1)      Aspek Konservasi
Globalisasi menyebabkan pengaruh sektor bisnis sangat besar pada kelangsungan keanekaragaman hayati. Dari pengeboran minyak di pedalaman hutan hujan tropis hingga pada teknologi informasi yang memberikan pengaruh pada pengelolaan sumber daya alam dengan lebih baik. Dunia usaha telah menawarkan berbagai tantangan dan kesempatan bagi konservasi. Untuk memberdayakan kekuatan pada sektor bisnis, terutama industri yang dapat mengancam keanekaragaman hayati, untuk mencegah dan mengurangi dampak negatif industri pada lingkungan serta mencari dan menciptakan solusi konservasi. Hal ini berarti pula memobilisasi sumberdaya dari sektor bisnis dan bekerjasama dengan dunia usaha untuk mendidik para pengambil keputusan, mitra kerja, pegawai dan konsumen bisnis tersebut tentang ancaman terhadap keanekaragaman hayati dan mencari solusinya.
Conservation International (CI) Indonesia telah merintis upaya kemitraan dengan sektor industri yang memiliki kesamaan visi. Melalui Global Environment Facility (GEF), CI memfasilitasi pendanaan ForesTrade untuk kegiatan usaha kecil dan menengah. Dana tersebut dialokasikan untuk pinjaman bagi kegiatan usaha yang mendukung upaya konservasi lingkungan. ForestTrade adalah perusahaan yang bergerak di bidang perdagangan dan pengembangan produk khusus untuk produk-produk organik bersertifikat yang dipanen secara berkelanjutan.
2)      Aspek Pelestarian Lingkungan
Rounded Rectangle: 16Lingkungan hidup merupakan karunia dan rahmat Tuhan Yang Maha Esa kepada rakyat dan bangsa Indonesia yang menjadi ruang kehidupan dalam segala aspek sesuai dengan wawasan Nusantara, dan dalam pendayagunaan Sumber Daya Alam untuk memajukan kesejahteraan umum sebagaimana diamanatkan dalam UU Dasar 1945[9] serta mencapai kebahagian hidup berdasarkan Pancasila perlu dilaksanakan pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup berdasarkan kebijaksanaan nasional yang terpadu dan menyeluruh dengan memperhitungkan kebutuhan generasi masa kini dan generasi masa depan. Atas dasar tersebut maka perlunya melaksanakan pengelolaan lingkungan hidup untuk melestarikan dan mengembangkan kemampuan lingkungan hidup yang serasi, selaras, dan seimbang guna menunjang terlaksananya pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup dimana setiap penyelenggaraan pengelolaan lingkungan hidup harus didasarkan pada norma hukum yang dilihat dari angka kesadaran masyarakat dan perkembangan lingkungan global serta perangkat hukum internasional yang berkaitan dengan lingkungan hidup.
Mewujudkan supremasi hukum melalui upaya penegakan hukum serta konsisten akan memberikan landasan kuat bagi terselenggaranya pembangunan, baik dibidang ekonomi, politik, sosial budaya, pertahanan keamanan. Namun dalam kenyataan untuk mewujudkan supremasi hukum tersebut masih memerlukan proses dan waktu agar supremasi hukum dapat benar-benar memberikan implikasi yang menyeluruh terhadap perbaikan pembangunan nasional. Dalam hubungan dengan Undang-Undang No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, penegakan hukum dibidang lingkungan hidup dapat diklasifikasikan kedalam 3 (tiga) kategori yaitu :
                      1          Penegakan hukum Lingkungan dalam kaitannya dengan Hukum Administrasi (Tata Usaha Negara).
                      2          Penegakan Hukum Lingkungan dalam kaitannya dengan Hukum Perdata.
                      3          Penegakan Hukum Lingkungan dalam kaitannya dengan Hukum Pidana.
Permintah telah melakukan berbagai upaya penegakan hukum terhadap unit usaha maupun kegiatan yang tidak melalukan upaya pengelolaan lingkungan hidup dengan baik, karena upaya pengelolaan lingkungan hidup sebagai bagian yang integral dari upaya pembangunan yang berkelanjutan yang berwawasan lingkungan. Penegakan hukum lingkungan secara konsekuen tentunya perlu keseriusan dari seluruh lepisan masyarakat sehingga permasalahan lingkungan dapat diminimalisasikan.
3)      Aspek Konservasi Industri
Rounded Rectangle: 17Perkembangan geopolitik, demokratisasi, dan tuntutan otonomi daerah selain memberikan dampak yang positif pada kehidupan bernegara telah memberikan pengaruh negatif pada kualitas Sumber Daya Alam dan keragaman hayati, serta menimbulkan konflik sosial yang berkepanjangan. Kegiatan seperti eksploitasi kayu legal dan tidak legal, ekspansi perkebunan kelapa sawit skala besar, dan pembangunan jaringan jalan, pertambangan, dan pengambilan sumberdaya laut secara berlebihan yang merupakan contoh kegiatan ekonomi mikro mengalami lenyapnya hutan tropis, ekosistem pantai rusak, dan terumbu karang mengalami kehancuran.
Sementara itu, ancaman terhadap kerusakan hutan belum dapat ditekan secara signifikan. Walaupun kebutuhan akan sumber daya hutan tidak dapat dielakkan. Pembukaan hutan untuk kepentingan pembangunan, termasuk untuk produksi hasil hutan seringkali menjadi salah satu faktor selain banyaknya penebangan kayu ilegal, konversi lahan hutan, kebakaran hutan dan penangkapan spesies dilindungi. Berikut Program Ekonomi melalui Kebijakan Konservasi ditujukan untuk mempengaruhi para pengambil keputusan dengan cara memperlihatkan nilai-nilai ekonomi dari keanekaragaman hayati, memperkuat strategi konservasi dengan menggunakan sudut pandang ekonomi pada perencanaan konservasi yang lebih terbuka dan terpadu, serta mengoptimalkan kinerja kegiatan konservasi dengan menciptakan insentif ekonomi bagi pihak yang terlibat.
Pengelolaan Konsesi Konservasi merupakan inisiatif untuk mengganti konsesi yang diberikan pada kawasan dengan keanekaragaman hayati tinggi yang secara komersial dieksploitasi, menjadi kawasan untuk konservasi. Kawasan tersebut kemudian dikelola untuk kepentingan pembangungan berkelanjutan melalui kegiatan ekonomi berbasis masyarakat. Kompensasi diberikan kepada pemerintah daerah dengan melakukan penguatan perencanaan pembangunan, peningkatan kapasitas Sumber Daya Manusia beserta institusinya, untuk menuju pemerintahan yang lebih baik.

C.    Kearifan Lokal dan Pengelolaan Hutan Lestari
Kelompok masyarakat tradisional yang hidupnya sangat tergantung kepada sumber daya alam hayati dan kondisi lingkungan di sekitarnya dengan berusaha mengenali, memahami, dan menguasai agar mampu memanfaatkannya seoptimal mungkin untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Sebelum masyarakat tersebut menerapkan teknologi adaptasi terhadap sumber daya alam hayati dan kondisi lingkungan, setiap masyarakat mempunyai kesempatan untuk mengenali karakter sumber daya alam dan lingkungan tersebut. Pengenalan, pemahaman, dan penguasaan tersebut merupakan tahapan penting bagi masyarakat tradisional yang tinggal di sekitar hutan. 
Pengetahuan lokal adalah pengetahuan yang dikembangkan oleh suatu komunitas masyarakat selama berabad-abad. Menurut Mathias (1995) Pengetahuan lokal dikembangkan berdasarkan pengalaman sebagaimana yang telah diuji penggunaannya setelah diadaptasikan dengan budaya dan lingkungan setempat (lokal), serta bersifat dinamis dan berubah-ubah. Menurut Darusman dalam Suharjito (2000) kearifan lokal atau tradisional mengandung arti resultante dan keseimbangan optimum yang sesuai dengan kondisi yang ada. Kearifan lokal merupakan salah satu menifestasi kebudayaan sebagai system yang cenderung memegang erat tradisi, sebagai sarana untuk memecahkan persoalan yang sering dihadapi oleh masyarakat lokal. 
Data dan fakta lapangan yang dikumpulkan oleh para peneliti dan pegiat LSM telah membuktikan bahwa wilayah adat yang pengelolaan sumber daya alamnya dikelola secara otonom oleh berbagai komunitas adat ternyata mampu menjaga kelestarian. Realitas demikian merupakan pertanda bahwa masa depan keberlanjutan sumber daya alam berada di tangan masyarakat yang berdaulat memelihara kearifan adat dan praktek-praktek pengelolaan sumber daya alamnya. Sebagian dari masyarakat adat terbukti mampu menyangga kehidupan dan keselamatan sebagai komunitas dan sekaligus menyangga layanan sosio-ekologis alam untuk kebutuhan seluruh makhluk, termasuk manusia. Sistem lokal berbeda dengan system satu sama lainnya sesuai dengan kondisi sosial budaya dan tipe ekosistem setempat. Namun secara umum bisa terlihat prinsip-prinsip kearifan tradisional yang dihormati dan dipraktekkan oleh kelompok-kelompok masyarakat adat, diantaranya :
a.       Masih hidup selaras dengan mentaati mekanisme alam dimana manusia merupakan bagian dari alam itu sendiri yang harus dijaga keseimbangannya.
b.      Bahwa suatu kawasan hutan  tertentu masih bersifat eksluksif  sebagai hak pengusaan dan/atau  kepemilikan bersama (communal  property resources) yang dikenal  sebagai wilayah adat sehingga  mengikat semua warga untuk menjaga dan mengamankan dari pihak luar.
c.       Sistem pengetahuan dan struktur pemerintah adat mampu memberikan kemampuan untuk memecahkan problematika kehutanan yang masyarakat hutan hadapi, termasuk berbagai konflik dalam pemanfaatan sumber daya  hutan.
d.      Sistem alokasi dan penegakan  hukum adat untuk mengamankan sumber daya milik bersama dari  penggunaan berlebihan, baik oleh masyarakat sendiri maupun oleh  orang luar komunitas.
e.       Mekanisme pemerataan distribusi hasil “panen” sumber daya alam milik bersama yang bisa meredam kecemburuan sosial di tengah masyarakat.
Berbagai prinsip tersebut dapat dikatakan mengalami perkembangan secara evolusioner sebagai akumulasi dari temuan pengalaman masyarakat selama ratusan tahun. Oleh karena itu prinsip tersebut lebih bersifat multi dimensional dan terintegrasi dalam sistem religi, struktur sosial, hukum dan pranata atau institusi adat yang bersangkutan. Kalau komunitas masyarakat adat dapat membuktikan diri mampu bertahan hidup dengan sistem lokal yang ada, apakah tidak mungkin bahwa potensi sosial budaya yang besar akan dikembalikan vitalitasnya dalam pengelolaan sumber daya alam dan sekaligus untuk menghentikan pengrusakan terhadap masyarakat adat. Kearifan lokal yang berbasis komunitas ini merupakan potensi sosial budaya untuk direvitalisasi, diperkaya, diperkuat dan dikembangkan sebagai landasan baru menuju perubahan kebijakan yang tepat untuk tujuan keberlanjutan ekologis. Dengan pranata sosial yang bersahabat dengan alam, masyakarat adat diyakini memiliki kemampuan yang memadai untuk melakukan rehabilitasi dan memulihkan kerusakan ekologis di areal-areal bekas konsesi HPH dan lahan-lahan kritis (community based reforestation and rehabilition) dengan pohon-pohon jenis asli yang bermanfaat secara subsisten dan komersial.  Dengan pengayaan (enrichment) terhadap pranata adat untuk pencapaian tujuan-tujuan ekonomis, komunitas masyarakat adat diyakini mampu :
a.       Mengelola usaha ekonomi  komersial berbasis sumber daya alam lokal yang ada di wilayah adatnya seperti community logging, community forestry, dan lain sebagainya.
b.      Mengatur dan mengendalikan “illegal logging” yang dimodali cukong-cukong kayu.
c.       Mengurangi praktek-praktek “clear cutting” legal (dengan IPK) untuk tujuan konversi hutan, dan mencegah penebangan hutan resmi yang merusak dan tidak berkeadilan.

KESIMPULAN
Kondisi dan berbagai fungsi hutan yang ada di Propinsi Banten  perlu direvitalisasi begitu pula kebijakan dan strategi dalam manajemen hutan perlu diperbaiki. Upaya yang harus ditempuh Pemerintah Daerah (Pemda) dan masyarakat antara lain melalui penerapan teknik silvikultur (perbaikan kualitas tegakan), pengelolaan aspek ekologi (biodiversity), konservasi tanah dan air, pencegahan bahaya kebakaran hutan, serta penelitian dan pengembangan (Litbang) kehutanan.
Dalam Litbang kehutanan di Propinsi Banten, beberapa perguruan tinggi yang ada di Tangerang, Serang, Cilegon, Pandeglang, dan Lebak perlu diikutsertakan. Perguruan tinggi tersebut diharapkan dapat menyelenggarakan kajian kehutanan yang spesifik untuk kawasan masing-masing. Selain itu, melalui program pengabdian masyarakat atau kuliah kerja nyata (KKN) dengan berupaya melakukan pendampingan terhadap masyarakat di sekitar hutan. Untuk menyelamatkan  hutan yang tersisa di Propinsi Banten yang secara sosiolog bukan hanya menjadi tanggung jawab Pemda semata, tetapi juga seluruh komponen masyarakat seperti lembaga pendidikan (dasar-menengah-tinggi), LSM, Ormas, Orsospol, pengusaha, media massa, dan sebagainya. Pada tahun 1970-an di Propinsi Jawa Barat pernah ada Gerakan Gandrung Tatangkalan (Rakgantang), alangkah baiknya jika di Propinsi Banten  dilaksanakan langkah serupa.
Pengelolaan Sumber Daya Alam harus lebih mengacu kepada aspek konservasi, aspek  pelestarian lingkungan, dan aspek Konservasi Industri. Eksploitasi Sumber Daya Alam yang berorientasi ekonomi akan membawa efek positif secara ekonomi tetapi menimbulkan efek negatif bagi kehidupan umat manusia. Oleh karena itu pembangunan tidak hanya memperhatikan aspek hukum, dan aspek ekonomi. Namun lebih mengarah kepada  aspek etika dan sosial yang berhubungan dengan kelestarian, kemampuan, dan daya dukung Sumber Daya Alam. Pembangunan ekonomi industri melalui pemanfaatan Sumber Daya Alam dan lingkungan hidup menjadi acuan bagi kegiatan berbagai sektor pembangunan agar tercipta keseimbangan dan kelestarian fungsi sumber daya alam dan lingkungan hidup sehingga keberlanjutan pembangunan tetap terjamin. Berikut Program Ekonomi melalui Kebijakan Konservasi ditujukan untuk mempengaruhi para pengambil keputusan dengan cara memperlihatkan nilai-nilai ekonomi dari keanekaragaman hayati, memperkuat strategi konservasi dengan menggunakan sudut pandang ekonomi pada perencanaan konservasi yang lebih terbuka dan terpadu, serta mengoptimalkan kinerja kegiatan konservasi dengan menciptakan insentif ekonomi bagi pihak yang terlibat. Potensi yang ada pada alam untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia yang sering disebut dengan natural resources bumi dengan segala isinya yang terkandung di dalamnya disebut dengan alam dunia. Jika diperhatikan secara teliti alam dunia dapat dikelompokkan atas 5 bagian yang berupa :
a)      Atmosfer, lapisan udara yang mengelilingi bumi.
b)      Hidrosfer, lapisan air yang ada di bumi berupa laut, danau, sungai, rawa, air tanah, es, dan air di atmosfer.
c)      Litosfer, lapisan batuan yang menyusun kulit bumi termasuk di dalam tanah.
d)     Biosfer, kehidupan di bumi yang terdiri dari tumbuhan dan binatang.
e)      Antroposfer, yaitu manusia (penduduk bumi).
Kelima kelompok alam tersebut merupakan sumber kehidupan yang mempunyai potensi saling berkaitan untuk mendukung kehidupan yang semakin bertambah atas faktor angka kelahiran, potensi alam dunia yang tersedia jumlahnya amat banyak dan beraneka ragam seperti Mineral, energi, tumbuhan binatang, udara, iklim, air, bentang alam berupa dataran, pegunungan, bahkan gurun mempunyai potensi untuk mendukung kehidupan penduduk yang mempunyai kemampuan dalam pengelolaan Sumber Daya Alam.
Sudah saatnya pemerintah mengubah paradigma tentang tata cara pengelolaan hutan yang selalu beriorentasi kepada kebijakan sepihak pemerintah. Pemerintah harus membuka mata bahwa melalui kearifan lokal yang dimiliki masyarakat adat akan mampu menciptakan kelestarian hutan. Pemerintah harus bisa menyadari kelemahan kebijakan yang selama ini dipaksakan kepada masyarakat adat yang nyata-nyatanya merampas hak-hak mereka sendiri. Masyarakat adat sebagai komunitas yang langsung membangun intraksi dengan hutan secara tidak langsung telah mempunyai konsep aturan atau norma tersendiri bagaimana melestarikan hutan sehubungan dengan fungsinya sebagai penyimpan berjuta ragam plasma nutfah serta penyangga atau penyeimbang kelestarian alam (ekologi).
Aturan-aturan atau norma-norma ini begitu arif tanpa mengundang rasa ketidak adilan ditengan-tengah masyarakat. Misalnya, penelitian yang pernah dilakukan oleh Qbar (2007) di tiga kabupaten seperti dalam masyarakat Nagari Kambang di Kabupaten Pesisir Selatan salah satu daerah yang terdapat di Provinsi Sumatera Barat bahwa masyarakat setempat dalam menjaga kelestarian hutan berlaku ketentuan yang telah diadatkan yaitu sistem tebang pilih. Artinya kayu yang diperbolehkan untuk ditebang oleh masyarakat yang memerlukannya baik untuk pembuatan jembatan, masjid, balai adat, pembuatan rumah dan kepentingan lainnya adalah kayu yang sudah berumur dan setiap kayu yang ditebang wajib diganti dengan menanam kembali pohon yang baru.

Daftar Pustaka
Aliadi,Arif. 2002, “Pengetahuan Lokal Untuk Konservasi Sumber Daya Hutan”, Makalah Seminar Nasional Pengembangan Teknologi dan Budaya Lokal Sebagai Basis Pembangunan Berkelanjutan. Institut Pertanian Bogor, Bogor
Dalam E Suhendang (ed) 1995. “Menguak Permasalahan Pengeloalaan Hutan Alam Tropis Di Indonesia”, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Purwanto, Y. Efendi, Oscar. 2008. “Etnologi Masyarakat Maya di Teluk Manyailibit”, Pulau Waiego Kab. Raja Ampat,  Ekspedisi Widya Nusantara, Puslit Biologi, LIPI, Bogor.
Anonim. 2002. “Studi Hukum Pengelolaan Hutan oleh Masyarakat Adat”, Kerjasama WWF dengan Institut Hukum Sumber Daya Alam (IHSA). Jambi.
UU No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup
Nabil Makarim, 2003, “Sambutan Dalam Seminar Pemikiran Perubahan UU No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup”, tempatnya tidak disebutkan, Jakarta
Siti Sundari Rangkuti, 2003, “Instrumen Hukum Pengelolaan Lingkungan Hidup”, Seminar Pemikiran Perubahan UU No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, Jakarta, 2003
Bambang Soed, “Prof. Bismar Usul Pembentukan UU Privatisasi” Tempo Interaktik, Edisi Sabtu, 17 April 2004



[1]               Kementerian Lingskungan Hidup, UU No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, Jakarta, 2004, hal. 29
[2]               Nabil Makarim, Sambutan Dalam Seminar Pemikiran Perubahan UU No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, Jakarta, 2003 hlm. 1
[3]               Siti Sundari Rangkuti, Instrumen Hukum Pengelolaan Lingkungan Hidup, Seminar Pemikiran Perubahan UU No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, Jakarta, 2003 hlm. 2
[4]               Siti Sundari Rangkuti, 2003, opcit, hlm. 1
[5]               Prof. Dr. Bismar Nasution SH., MH., mengusulkan perlunya UU Privatisasi. Hal ini disampaikan Bismar dalam pidato pengukuhannya sebagai Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Sumatra Utara, Sabtu (17/4). Lihat tulisan Bambang Soed, “Prof. Bismar Usul Pembentukan UU Privatisasi” Tempo Interaktik, Edisi Sabtu, 17 April 2004 | 19:30 WIB.
[6]               Perhatikan puluhan daerah yang ada di kecamatan Cibeber, Citangkil, dan Suralaya yang kondisi kehutanannya sangat mempengaruhi kesejahteraan masyarakat sekitarnya tidak akan terwujud atas kurang optimalnya pelestarian sumber daya hutan khususnya di Kota Cilegon Provinsi Banten.
[7]               Untuk lebih jelas mengenai luas kawasan konservasi perhatikan tulisan DIREKTORAT JENDERAL PERLINDUNGAN HUTAN DAN KONSERVASI ALAM pada situs KEMENTERIAN KEHUTANAN dengan Website http://www.ditjenphka.go.id/?Page=Static&ID=6.
[8]               Lihat UUD tahun 1945 menjelaskan pada Pasal 65 ayat (1) setiap rakyat berhak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat sebagai bagian dari hak asasi manusia.
[9]               Lihat UUD tahun 1945 menjelaskan pada Pasal 33 ayat (3) bahwa Bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.