Cinta, setiap hati
memiliki kebebasan untuk memilih cinta. Namun, cinta juga memiliki hak untuk
memilih hati yang kelak dengan ikhlas mengatakan ‘aku memiliki c-i-n-t-a
untukmu’.
Allah
menciptakan hal yang paling misterius di dunia ini, hati. Setiap orang memiliki
hati yang terkadang sang pemilik hati pun tidak mempunyai daya untuk mencegah
hatinya memberikan ‘cinta’ untuk seseorang yang masih menjadi sebuah rahasia.
Matahari
yang beranjak terbenam, awan yang menjelma menjadi lukisan raksasa penuh warna,
angin yang membawa kedamaian, beberapa burung yang terbang naik-turun di atas
bumi, menjadi saksi bahwa, hati manusia memiliki kebebasan memilih bagaimana dia
mencintai seseorang.
“Ya
Allah, meskipun hamba hanya dapat melihatnya dari sini, izinkanlah hati hamba
menjadi seperti angin yang lembut ini. Hingga hati hamba menjadi sedikit lebih
dekat dengan hati Kak Ilham,” inilah doa dari hati seorang gadis berkerudung
putih saat memandang seorang pemuda tampan. Pemuda tampan itu duduk di atas rerumputan
hijau dan tanpa disadarinya, dia telah mempersembahkan alunan melodi indah dari
sebuah gitar untuk gadis itu. Dibuai oleh kelembutan angin dan suara
‘ngik-ngik’ ayunannya, gadis itu memandanginya dengan penuh kekaguman. Dari
tatapannya, gadis itu telah mengenal pribadi pemuda itu dengan sangat baik.
Karena terpaku memandang pemuda itu, gadis itu tidak menyadari kedatangan
sahabatnya.
“Door!
Syifa, Assalamu’alaikum!” sahabatnya itu langsung duduk di atas ayunan tepat di
sampingnya.
“Wa’alaikumsalam,”
Syifa menjawab salam dari sahabatnya dengan tenang dan mendorong kembali ayunannya.
“Kamu
kok nggak kaget Fa? Padahal aku udah ngumpulin energi buat ngagetin kamu, makan
bakso, mie ayam, spaghetti, sushie,
rendang, emm… apa lagi ya?” sambil menggigit telunjuk kanannya.
“Riri!
Aku tahu, siang tadi kamu cuma makan nasi bungkus pake ikan teri sama kerupuk
udang di kantin kan?” tanpa mengubah arah pandangannya.
“Riri,
Riri, namaku itu Nuri Anggraini Puspitasari. Hehe, tapi bener juga sih aku cuma
makan nasi bungkus tadi. Kamu nglihatin apa sih Fa? (mengikuti arah pandangan Syifa) Oh, dia lagi!”
Syifa
hanya tersenyum simpul mendengar celotehan sahabatnya. Meskipun jalinan
persahabatan mereka baru terbina sejak dua tahun lalu, Nuri sudah sangat fasih memahami
hati sahabatnya yang memang sudah lama, atau mungkin sudah sangat terlalu lama
menyimpan sebuah rasa yang indah untuk Ilham. Sementara Syifa terus memandangi
Ilham dengan beberapa kedipan mata, Nuri justru memandangi Ilham dengan sorot
mata yang tajam. Setiap gerakan jari-jemari Ilham memetik senar gitar,
perjalanan kedua bola mata Ilham yang mondar-mandir dari kiri ke kanan
mengikuti deretan huruf yang harus memenuhi takdirnya untuk dibenci orang yang
malas belajar dan dikagumi orang yang ingin mencari ilmu bermanfaat dunia wal
akhirat (mungkin sedikit berlebihan).
“Fa,
Ilham itu aneh ya!”
“Aneh?”
“Ya
aneh. Lihat aja, dia itu main gitar tapi nggak bisa nikmatin permainannya
sendiri. Buku terus kayaknya yang bisa dinikmati. Aku tahu sih, kuliah
kedokteran itu emang susah, pake banget malah. Tapi nggak harus gitu juga kan?
Harusnya, dia itu bisa menikmati sesuatu yang bisa bikin dia bahagia.”
“Dia
nggak aneh Riri. Kak Ilham selalu bahagia nglakuin apa yang dia mau. Sekarang
itu, dia nggak belajar, tapi dia main gitar sambil belajar. Aku yakin, Kak
Ilham pasti enjoy nglakuin itu semua.
Jujur ya Ri, kalau aku dengerin Kak Ilham main gitar kayak gini, hati aku
rasanya jadi tenang, adem, terus nada-nada ini, rasanya jujur banget Ri.”
“Huuuh,
Syifa lebay deh. Tapi Fa, aku nggak ngerti maksud kamu apa? Soalnya ya, bahasa
kamu dalem, terus aneh Syifa. Jadi, sebaiknya kalau ngomong sama aku soal Kak
Ilham kamu itu, to do point aja,
OKE!”
“Aku
nggak bisa Ri, soalnya perasaan aku ini rumit banget rasanya. Bukan rumit sih, tapi
campur aduk. Bahagia, takut, malu, deg-degan, semuanya ada.”
“Syifa,
bilang aja kalau kamu sayang sama Ilham, you’re
falling in love with him. Tapi, kamu sendiri yang bikin rumit perasaan
kamu. Harusnya ya, kalau kamu punya rasa itu buat dia, kamu jujur sama dia.
Bukan malah menyimpan perasaan itu. Gimana Ilham bisa tahu perasaan kamu Syifa?”
“Kalau
aku bisa, aku pasti jujur Ri, karena aku nggak mau mempunyai perasaan ini
sendirian. Tapi, aku takut memiliki perasaan ini Ri.”
Mendengar
kata-kata Syifa, Nuri menjadi sedikit bingung menghadapi kerumitan perasaan
sahabatnya itu. Namun, di tengah keheningannya berpikir dalam kebingungan, “Syifa,
kalau hati kamu sudah berani mempunyai perasaan cinta untuk dia, hati kamu juga
harus siap buat patah hati. Itu namanya salah satu hukum alam tentang cinta.
Kamu bisa kok punya cinta, tanpa efek samping patah hati, cinta dari dan untuk
Allah SWT. Hehe.”
“Dalem
banget Ri. Tapi, makasih ya. Ngomong-ngomong, siapa yang udah buat hukum alam si
cinta itu Ri?” sedikit terkejut mendengar kata-kata yang begitu menyentuh dari
sahabatnya.
“Eeem,
nggak tahu sih. Aku sendiri bingung Fa, dari mana kata-kata indah dan penuh
makna itu muncul. Tapi, emang sih aku punya bakat jadi dokter heart and love, and you’re my first patient.”
Syifa
hanya bisa menghela nafas panjang melihat sahabatnya yang sedang berpetualang
ke langit ketujuh.
Cinta adalah sebuah
takdir. Pertemuan hati dengan cinta adalah karena takdir Allah SWT. Salah satu
takdir Allah SWT yang paling dinanti oleh hati hamba-Nya.
Sehari
berselang, takdir hari ini mempertemukan kembali Syifa dengan cintanya. Siang
itu, Syifa harus menemani Nuri bertemu dosen pembimbing akademiknya untuk
membatalkan KRSnya di kampus Ilham. Hal yang terlihat sangat sederhana untuk
dua buah tanda tangan dosen menjadi hal yang penuh liku untuk Syifa dan Nuri.
Mereka berdua harus menunggu sang dosen keluar dari ruang pertemuannya selama
dua setengah jam, mengikuti salat jamaah dzuhur terlebih dahulu bersama bapak
dosen yang sangat mirip dengan Pak Habibie, dan mendengar sedikit komentar
beberapa dosen lain tentang human error
Nuri yang sangat unik (bagaimana tidak, Nuri memilih semua mata kuliah dari
kelas A sampai F untuk semua dosen, bukan karena lupa memakai kacamata Harry Potter kesayangannya, tapi karena terlalu
bersemangat). Untungnya, PA Nuri yang mungkin termasuk daftar tujuh orang di
dunia yang sangat-sangat mirip Bapak B.J. Habibie, bersedia bersabar memberikan
senyuman hangat dan beberapa wejangan untuk
Nuri dan Syifa.
“Alhamdulillah
ya Allah! Untung ya Fa, Pak Yusuf baik, baiiiik banget. Fiuh…. Syifa, aku lega
banget. Ya ampun!” sambil terus berjalan, meremas-remas jari-jarinya yang masih
dingin tanpa menyadari bahwa Syifa bertemu lampu merah tepat di depan ruang
laboratorium.
Lampu
merah yang membuat jantung Syifa berdetak lebih kencang dan membuat kedua
tatapannya fokus pada satu titik dengan penuh kekaguman. Ilham ada tepat di
hadapannya, di dalam ruang laboratorium itu. Namun, perasaan aneh yang seakan
membuat hatinya harus terombang-ambing karena perasaannya untuk Ilham, muncul
tiba-tiba. Di dalam ruangan itu, Ilham dan seorang temannya sedang
berkonsultasi dengan seorang dosen. Ilham dan teman di sampingnya itu tampak
begitu akrab, saling memahami satu sama lain, dan mereka mempunyai sesuatu yang
tidak pernah dimiliki Syifa bersama Ilham, sebuah kehangatan. Syifa berkata
dalam hatinya, “Kak Ilham dan dia kayaknya deket banget. Dia cantik, pinter,
dan kayaknya baik banget. Ya Allah, apa ini saatnya aku harus berhenti
menyimpan rasa ini untuk Kak Ilham? Tapi kenapa rasanya masih sangat berat
merelakan perasaan ini untuk pergi.”
Rupanya
dosen Ilham menyadari keberadaan Syifa yang tampak begitu jelas dari kaca
bening laboratorium. Dosen itu menggerakkkan kaca matanya naik-turun,
memperhatikan Syifa dalam-dalam. Ilham dan temannya pun mengikuti arah
pandangan dosen mereka. Menyadari itu semua, Syifa langsung menunduk, kemudian perlahan
berjalan mengendap-endap sejauh sepuluh meter menjauhi laboratorium itu. Dari
kejauhan, Nuri terlihat masih sibuk berbicara sendirian mensyukuri nikmat Allah
SWT karena mendapat dosen PA yang super
duper baik. Beberapa mahasiswa yang ada di sekitar rute perjalanan Syifa
dan Nuri memperhatikan sikap aneh Nuri, kemudian melihat Syifa berjalan
menegendap-endap di depan ruang laboratorium. Mereka hanya tersenyum kecil dan
berkomentar seperti ini, “Maybe, there
are something wrong in our campus, or the two girls are unique and strange.”
Ternyata hari ini bukan hanya hari yang penuh liku, namun juga hari yang penuh kegalauan untuk Syifa.
Setiap hati pasti akan
menemui kegalauan dalam cinta. Tapi, saat itulah mereka belajar tentang cinta.
Sesampainya
di rumah, belum ada yang berubah dengan perasaan Syifa. Tentang semua rasa
cintanya untuk Ilham, rasa cemburunya, rasa ketakutannya, dan rasa keraguan
akan perasaannya. Apakah hatinya harus merelakan atau memperjuangkan cinta.
Semuanya seperti menumpuk menjadi satu, menjadi beban di hati dan pikiran
Syifa.
Di
teras rumah, Syifa melihat ibunya memotong-motong daun singkong yang segar dan
hijau untuk membuat buntil, makanan
favorit ayah Syifa. Setelah melepas kedua sepatunya, Syifa mencium tangan ibunya.
“Wa’alaikumsalam
Syifa,” ibu Syifa mengingatkan putrinya untuk memberi salam.
“Maaf
Bu, Syifa lupa. Kalau gitu, Assalamu’alaikum, ibu Syifa yang paling cantik dan
baik,” sambil memberikan senyuman.
“Syifa,
Wa’alaikumsalam lagi. Syifa, kenapa? Ada masalah di kampus?” menatap Syifa.
“Syifa
nggak apa-apa kok Bu. Tapi, mungkin buntil
yang akan ibu masak ini sama seperti hati Syifa sekarang. Rasanya enak,
tapi ada pahitnya juga. Kalau nggak beruntung, pahit banget.”
“Syifa
mau cerita sama Ibu? Apa sih, yang bisa membuat hati anak ibu ini serasa seperti
buntil?”
“Tapi
Syifa malu ceritanya Bu.”
“Syifa
yakin nggak mau cerita? Apa Syifa mau cerita aja sama ayah nanti? Tapi, kalau
Syifa juga nggak mau cerita sama ayah, ibu percaya Syifa pasti bisa menghadapi
masalah Syifa,” berusaha membujuk putrinya.
“Ayah?
Nanti kalau Syifa cerita ke ayah pasti ayah ngejek Syifa. Syifa cerita sama Ibu
aja ya (tersenyum malu). Sebenernya,
Syifa bingung sama hati Syifa sendiri Bu. Menurut Ibu, cinta itu apa juga harus
mengikuti perkembangan zaman? Jadi, cinta zaman sekarang juga harus modern,
seperti zamannya. Atau Syifa harus memperlakukan cinta Syifa dengan cara yang
sederhana. Karena buat Syifa, cinta itu sederhana.”
“Hihi….
Anak ibu baru jatuh cinta ternyata. Cinta sederhana, cinta ala Khahlil Gibran
ya?” sambil tersenyum geli dan bahagia melihat putrinya telah mengenal cinta.
“Tu
kan. Ibu senyum-senyum, apalagi Ayah. Syifa salah ya Bu, kalau Syifa berharap
suatu saat akan ada seseorang yang bisa memahami cinta Syifa, meskipun selama
ini Syifa jauh dari dia. Syifa hanya bisa memandang dia, mendengar suara
gitarnya yang buat Syifa itu semuanya adalah kejujuran hatinya, mengagumi dia,
dan Syifa nggak pernah punya keberanian untuk jujur ke dia tentang rasa cinta Syifa
buat dia. Kata orang, cinta itu sumber kebahagiaan. Tapi kenapa cinta yang
Syifa miliki cuma bisa buat Syifa sedih,” Syifa memandang kedua mata ibunya
dengan mata yang sudah mulai basah.
“Huuh…(menghela nafas panjang). Syifa masih
yakin kalau di dunia ini ada cinta yang sederhana?”
“Sebenernya,
Syifa masih yakin nggak yakin Bu.”
“Allah
sudah menggariskan takdir yang terbaik untuk seluruh hamba-Nya karena Allah
mempunyai cinta yang tidak terhingga untuk seluruh hamba-Nya, begitu juga untuk
Syifa. Cinta yang paling tulus, paling indah, paling suci, paling berharga
hanya milik Allah. Allah menganugerahkan hati pada setiap manusia yang salah
satu tugas hati adalah untuk mempunyai cinta. Tapi terkadang, manusia tidak memahami
bagaimana hatinya memilih cinta. Kalau Syifa sudah mempunyai keyakinan, suatu
saat nanti Allah akan akan mempertemukan Syifa dengan jodoh Syifa, yang entah
itu dengan cinta yang sederhana atau rumit, Syifa hanya perlu melakukan satu
hal,” sambil sedikit tersenyum penuh tanda
tanya untuk Syifa.
“Satu
hal?”
“Syifa
berdoa kepada Allah agar mendapat kekuatan untuk meneguhkan hati Syifa. Keteguhan
hati agar Syifa dapat menjaga hati Syifa untuk Allah. Dan Syifa juga harus
memohon kepada Allah agar siapapun jodoh Syifa nanti, kelak dia juga akan
selalu berusaha menjaga hatinya untuk Allah. Sampai suatu saat nanti, kalian
berdua bertemu dalam keadaan yang baik karena Allah SWT. Jodoh itu memang harus
dicari. Setiap manusia mempunyai cara dan jalan yang berbeda untuk dipertemukan
dengan jodohnya. Tapi Allah mempunyai metode paling canggih untuk mempertemukan
hati hamba-hamba-Nya.”
“Terima
kasih ya Bu. Hati Syifa jadi lebih adem sekarang. Meskipun jodoh Syifa nanti
ternyata bukan dia, tapi insyaallah Allah akan mempertemukan Syifa dengan jodoh
yang terbaik untuk Syifa. Syifa akan selalu berdoa dan berusaha agar suatu saat
nanti Syifa dapat bertemu jodoh Syifa karena Allah. Betemu dia yang akan selalu
menjaga hatinya untuk Allah. Amiin,” memeluk ibunya dengan sangat erat dan
akhirnya daun singkong yang ada di pangkuan ibu Syifa jatuh di atas lantai.
“Syifa!”
“Hehehe,
maafin Syifa, Bu. Nggak sengaja Syifanya. Tapi ibu janji ya, sama Syifa
kalau ibu nggak akan cerita sama Ayah soal hati Syifa yang galau ini.
Soalnya, kalau ayah tahu pasti…. Pokoknya nyebelin. Ibu.., janji… (berusaha merayu dengan wajah penuh kepolosan).”
“Hehehehe…. Ibu, gimana ya? Ibu janji,
ibu akan menjaga rahasia kegalauan hati Syifa ini. Tapi, ibu juga janji kalau
suatu saat ayah harus tahu rahasia Syifa, ibu akan mengizinkan ayah tahu
tentang rahasia Syifa ini. Adil kan?”
“Ibu?
Pokoknya, ini rahasia Syifa sama ibu. Tapi kalau ibu janji seperti itu, nggak
apa-apa sih. Tapi-tapi Bu, gimana caranya Syifa berusaha mencari jodoh Syifa?”
“Suatu
saat nanti, Syifa pasti akan mengerti. Yang penting, Syifa rajin berdoa, patuh pada
orang tua, kuliah dulu yang bener, dan….”
“Dan
belajar mengikhlaskan cinta…. karena cinta itu sederhana.”
“Syifa!”
Terkadang, cinta
berarti bersahabat dengan penantian. Penantian, sebuah perjalanan untuk
menemukan takdir tentang cinta.
Perjalanan
cinta Syifa membawanya pada sebuah penantian yang cukup panjang. Rupanya, satu
setengah tahun belum cukup bagi Syifa untuk berhenti bersahabat dengan
penantian cintanya. Namun, banyak perubahan yang terjadi dalam diri Syifa.
Perubahan yang terjadi karena mengikuti kata hatinya untuk menjaga kesetiaan
cintanya untuk Ilham. Cintanya untuk Ilham membuatnya lebih bersemangat
menjalani kehidupan dan tidak pernah berhenti untuk memiliki harapan. Cintanya
untuk Ilham, membuat kehidupan Syifa lebih bermakna karena takdir cinta
membimbing Syifa untuk lebih mendekatkan diri kepada Allah SWT, pemilik hati
seluruh umat manusia.
Selama
548 hari, hampir setiap senja menjelang Syifa selalu mengunjungi sebuah taman
yang masih menyimpan kenangan indahnya, meskipun hanya kenangan milik satu. Syifa
duduk di atas ayunan untuk sedikit mengingat Ilham yang dulu selalu memetik
senar gitar di kejauhan, mengagumi kejujuran alunan nada dari gitar Ilham. Selama
548 hari itulah, Syifa tidak lagi bisa bertemu dengan pangeran hatinya. Ilham
harus menempuh pendidikan Ko-As sekitar satu setengah tahun di sebuah rumah
sakit di daerah Bondowoso. Sedangkan Syifa, dua bulan lagi, dia akan memperoleh
gelar sarjana keperawatan.
Sampai
detik ini berjalan, Syifa masih menjaga rasa itu untuk Ilham. Namun, Syifa
harus menghadapi pilihan yang sangat berat dalam penantiannya dan semuanya harus
berubah. Malam itu, ayah dan ibu Syifa memanggil Syifa untuk membicarakan sebuah
hal yang sangat penting untuk masa depan Syifa. Syifa duduk di atas kursi
beranyam bambu yang baginya adalah kursi yang paling nyaman. Krek…krek… (sedikit bunyi yang muncul dari kursi bambu itu). Syifa masih
mencari posisi duduk paling nyaman ketika kedua orang tuanya terus memandangi
Syifa.
“Syifa?”
“Iya
Yah,” memandang wajah kedua orang tuanya yang tepat duduk di hadapannya, “Syifa
udah boleh minum teh ini Bu?” Mendengar pertanyaan putrinya, ibu Syifa hanya
tersenyum hangat.
“Syifa?”
ayah Syifa kembali menegur Syifa sambil menyempurnakan posisi pecinya.
“Iya
Yah. Syifa tahu, Ayah dan Ibu ingin menyampaikan sesuatu yang sangat-sangat
penting. Tapi, Syifa boleh minum dulu kan Yah?”
“Heh…
Syifa!” Ayah mengizinkan Syifa untuk minum segelas teh di depannya. Setelah
itu, “Ayah dan Ibu tahu, mungkin apa yang akan Ayah sampaikan nanti berat untuk
Syifa. Tapi, Ayah tetap harus menyampaikan ini semua. Syifa sekarang sudah
dewasa, meskipun bagi Ayah, Syifa masih putri kecil Ayah. Sebentar lagi, sudah
saatnya Syifa memenuhi sunatullah untuk membina rumah tangga.” Ayah menghela
nafas panjang melihat putrinya terus memandangi wajahnya. “Dulu, Ayah dan
sahabat kecil Ayah pernah berjanji. Suatu saat nanti, kami berdua akan
menjodohkan putra-putri kami kalau Allah meridhai. Satu bulan yang lalu, Ayah
bertemu lagi dengan sahabat Ayah itu. Sahabat ayah, punya dua orang anak. Satu
anak perempuan yang sekarang sudah menikah dan satu anak laki-laki yang sudah mempercayakan
jodohnya nanti kepada kedua orang tuanya. Syifa, kami berdua sudah berbicara
banyak hal tentang putranya dan tentang Syifa. Insyaallah, Ayah dan sahabat
Ayah akan melaksanakan janji kami untuk menjodohkan Syifa dengan putranya.”
Syifa mengalihkan pandangannya kepada wajah ibunya yang sejak tadi tampak
mencemaskan keadaan Syifa. Ayah Syifa memahami hati putrinya yang mengharapkan
bantuan dari ibunya, “Ayah juga sudah membicarakan ini semua dengan Ibu. Ibu
sudah menceritakan banyak hal tentang hati Syifa selama ini. Ayah mengerti
perasaan Syifa. Syifa tidak perlu takut. Ayah akan tetap melaksanakan janji
Ayah, putra sahabat Ayah memang sudah menerima perjodohan itu. Tapi, keputusan
akhir perjodohan ini ada di tangan Syifa. Syifa bebas menentukan pilihan Syifa.
Ayah dan Ibu tidak akan pernah memaksa Syifa untuk menerima perjodohan ini.
Syifa pasti lebih tahu, mana yang terbaik untuk Syifa.”
Ada
beban sangat besar yang telah terangkat dari pundak Syifa. Namun di sisi lain,
Syifa berkali-kali lipat lebih bingung untuk menentukan keputusan tentang
perjodohannya. Ada banyak hati yang terlibat, ada banyak orang yang memberi
kepercayaan pada Syifa, dan sekarang ada banyak keraguan dalam penantiannya.
“Satu
bulan. Syifa perlu waktu satu bulan untuk menentukan keputusan ini Yah, Bu,”
tanpa memiliki keberanian memandang wajah kedua orang tuanya. Ayah Syifa hanya
menganggukkan kepala dan tersenyum. Beliau memahami bahwa sekarang putrinya
dihadapkan pada dua pilihan dan kenyataan yang mungkin sangat berat dalam
hidupnya.
Keesokan
harinya, Syifa masih berharap tadi malam hanyalah sebuah mimpi, yang entah
itu buruk atau baik. Syifa duduk di atas
tempat tidurnya dengan dua pandangan penuh keraguan. Wajah yang biasanya penuh
harapan, kini menjadi wajah yang penuh kebimbangan.
“Ya
Allah, bagaimana Syifa harus memilih?” Syifa menghapus air mata yang mulai
menetes.
Beberapa
saat kemudian, ibu Syifa mengetuk pintu kamar Syifa dan perlahan mendekati
putrinya. Beliau membelai lembut putrinya dan berusaha sedikit meringankan
beban yang ada di pundak putrinya.
“Bu,
apa Syifa harus tetap memilih?”
“Ibu
tahu, ini semua sangat sulit untuk Syifa. Tapi dengan ini semua, Syifa bisa
belajar untuk dewasa memilih setiap keputusan dalam hidup Syifa.”
“Tapi
bagaimana kalau keputusan Syifa nanti salah Bu? Bagaimana kalau nanti Syifa
menyakiti hati banyak orang, termasuk Ibu dan Ayah. Syifa takut Bu.”
“Siapa
yang dapat menjamin kalau keputusan Syifa nanti benar ataupun salah? Setiap
orang pasti pernah membuat kesalahan. Tapi saat itu pula, mereka sedang belajar.
Syifa, kebenaran semua hanya datang dari Allah. Sedangkan manusia, berusaha
agar keputusan mereka, perbuatan mereka benar di mata Allah. Sekarang Syifa
sebaiknya salat istikharah, mohon petunjuk kepada Allah, agar Syifa dapat
mengambil keputusan yang terbaik untuk Syifa,” mencium kening putrinya.
“Makasih
Bu. Syifa nggak tahu harus bagaimana lagi kalau di samping Syifa nggak ada Ibu
dan Ayah,” akhirnya senyuman dapat terkembang di wajah Syifa. Syifa mengikuti
saran ibunya untuk salat istikharah, memohon petunjuk kepada Allah SWT, agar
dapat mengambil keputusan yang terbaik untuk hal terbesar dalam hidup Syifa. Di
dalam doa Syifa,
“Ya
Allah, sekarang hamba tidak tahu lagi harus bagaimana menghadapi semua ini. Hamba
benar-benar takut kalau hamba akan
menyakiti orang-orang yang hamba sayang. Hamba hanya dapat memohon petunjuk
kepada Engkau ya Allah. Ya Allah, Engkau pasti lebih mengetahui hati hamba. Engkaulah
pemilik hati seluruh umat manusia di dunia ini. Saat ini hati hamba berada di
antara dua pilihan. Antara membahagiakan hati banyak orang dengan menerima
perjodohan ini atau menunggu cinta hamba yang sampai sekarang hamba pun masih
belum mampu mengikhlaskan dia untuk memilih yang cinta lain. Antara mempererat
tali silaturahmi dua orang sahabat atau mengharap sebuah ikatan antara dua hati
yang belum pasti. Sampai saat ini, hamba masih belum mampu mengambil keputusan.
Hanya kepada Engkaulah hamba memohon petunjuk tentang pilihan hamba nanti ya
Allah. Hanya kepada Engkaulah hamba berserah dan berpasrah. Hamba yakin dan tidak
pernah berhenti untuk kehilangan harapanbahwa suatu saat nanti, Engkau pasti
akan menunjukkan jalan yang terbaik untuk hamba dan orang-orang yang hamba
sayangi….”
Hati mempunyai
kebebasan memilih cinta. Dan cinta yang tumbuh di hati manusia karena takdir
Allah SWT. Setiap takdir yang dialami manusia adalah keajaiban. Dan cinta,
adalah sebuah keajaiban….
Hari
demi hari kembali harus berlalu, dua puluh sembilan hari telah berlalu untuk
Syifa. Akan tetapi, Syifa masih belum mengambil keputusan. Pada malam ke dua
puluh sembilan ini, perasaan dan pikiran Syifa sangat kalut. Setiap hari, Syifa
masih menanti kedatangan Ilham. Sejak Syifa mengetahui rencana perjodohannya,
dia masih belum mengubah kebiasaannya yang mengharap kehadiran Ilham di taman,
meskipun Ilham belum pernah menyadari Syifa dan perasaannya, hingga harapan itu
perlahan mulai hilang. Pada momen penting dalam hidup Syifa ini, Allah memberi
kado kecil untuk Syifa, kabar dari sahabat kesayangannya, Nuri. Ibu Syifa
memberi sebuah amplop coklat yang cukup berat dan datang pada saat yang tepat
(meskipun harus pukul sebelas malam). Ternyata, Pak Pos di samping rumah Syifa dengan
senang hati mengirimkan surat untuk Syifa.
Syifa
membuka surat yang berstempel super-super kilat dengan nama pengirim yang
sangat besar “NURI ANGGRAINI PUSPITA SARI”. Belum membaca surat itu, senyum
sudah terkembang di wajah Syifa. Ternyata bukan sepucuk surat di dalam amplop
itu, tapi sekeping CD bergambar Patrick Star. Syifa membolik-balik CD itu dan sangat
penasaran dengan isinya. Syifa segera membuka laptopnya, menunggu beberapa saat
booting start process, dan memutar CD
itu. Suara pertama yang terdengar adalah salam Nuri dengan nada penuh semangat
yang cukup mengagetkan Syifa, “Nuri! Mau di Jogja sama di Banjarmasin sama aja
ni anak. Fiuh!” Dan…
“Syifa…! Kamu pasti
kangen banget deh sama aku. Hehe, maaf ya Fa aku baru bisa ngasih kabar kamu
sekarang. Soalnya di Banjarmasin aku sibuk banget. Jeng…jeng…! Kakak aku dua
minggu lagi menikah Fa. Udah gitu, aku masih bingung cari cara biar aku bisa ngomong
panjang lebaaar sama kamu. Sampai akhirnya, aku bisa nemuin CD ini Fa.
Email kamu udah aku
terima Fa, salam balik buat keluarga kamu ya Fa. Aku sama keluarga aku
alhamdulillah juga sehat. Terus, besok pas wisuda aku bakal bawa kejutan buat
kamu, soalnya aku bakal bawa seseorang yang sangat spesial dalam hidup aku
baru-baru ini, dia calon tun…. Syifa, aku keceplosan lagi, ya ampun! Nggak jadi
kejutan dong. Tapi nggak apa-apa deh.
Fa, gimana, kamu masih
setia nunggu Ilham? Sebenernya, aku kagum sama prinsip kamu buat nunggu Ilham.
Kamu percaya pada hati kamu, meskipun dia nggak pernah tahu. Awalnya aku
ngerasa kalau itu konyol, tapi aku tahu kamu tulus sayang sama Ilham. Kalau
kamu bisa jujur sama hati kamu tentang cinta kamu, kenapa kamu harus takut
untuk jujur pada Ilham Fa? Perjuangin cinta kamu ya Fa! Jangan takut mengejar
cinta kamu!
‘Hatiku memiliki
kebebasan untuk memilih cinta. Tapi cinta itu memang penuh misteri, karena
suatu saat hatiku juga harus mengalah untuk cinta.’ Meskipun sebenarnya aku
belum memahami syair itu, tapi cocokkan buat kamu Fa, Syifa yang sedang dalam
penantian cinta. Syifa, kamu sahabat aku yang paling aku sayang. Kamu udah
seperti adikku sendiri. Karena itu, aku harap suatu saat nanti kamu bisa
mendapatkan cinta kamu. Syifa, Syifa! Semangat Syifa!
Fa, ini dulu ya, see
you next moon. Wassalamu’alaikum”
Mendengar
pesan Nuri dari dalam CD itu, Syifa seolah menemukan sebuah jawaban untuk
permasalahannya. Hampir dua puluh empat kali Syifa memutar CD itu. Mungkin di
dalam pesan Nuri ada petunjuk dari Allah untuk pilihan Syifa, “Ya Allah, apa
keputusan ini yang harus Syifa ambil. ‘Suatu saat hatiku juga harus mengalah
untuk cinta.’ Terima kasih ya Allah.”
Keesokan
harinya, Syifa telah memantapkan hati mengambil keputusan itu. Di hadapan kedua
orang tuanya yang sudah berharap-harap cemas, Syifa akan segera menyampaikan
keputusannya.
“Ayah,
Ibu Syifa sudah membuat keputusan,” sambil meremas jari-jarinya.
“Alhamdulillah.
Apa keputusan kamu Nak?” ayah Syifa tampak begitu berharap.
Sebelum
menyampaikan keputusannya, Syifa memandang dalam-dalam wajah ibunya, “Syifa
tahu, Ayah dan Ibu pasti mengharapkan kebaikan untuk Syifa melalui perjodohan
ini. Insyaallah, Syifa bersedia menerima perjodohan ini. Putra sahabat Ayah
sudah mempercayakan pilihan jodohnya kepada kedua orang tuanya. Itu sudah cukup
bagi Syifa untuk tahu kalau dia pasti bisa menjaga kepercayaan dan hati kedua
orang tuanya. Insyaallah, dia bisa menjaga hatinya untuk Allah. Syifa memang
belum mencintai dia, tapi Syifa akan berusaha mencintai dia. Syifa dan dia
insyallah bertemu dengan jalan terbaik karena Allah.”
“Bagaimana
dengan cinta yang selama ini kamu tunggu Syifa?” ibu Syifa mengkhawatirkan
perasaan dan kebahagiaan Syifa karena perjodohan ini.
“Insyaallah
ini pilihan hati Syifa Bu. Selama ini Syifa sudah terlalu lama bersahabat
dengan penantian Syifa. Walaupun kami belum berjodoh, inilah jalan terbaik
untuk kami. Syifa yakin, pasti dia akan menemukan cintanya di suatu tempat dan
mungkin bukan Syifa, demikian juga Syifa. Syifa mengalah untuk melepas cinta
Syifa pergi, demi kebahagiaan kami dan kebahagiaan hati yang selama ini selalu
menyayangi kami,” Syifa berusaha menahan air matanya untuk tidak menetes.
“Ternyata
putri kecil Ayah sekarang sudah dewasa, Bu,” sambil tersenyum bahagia, “Tapi
Syifa tetap menjadi putri kecil Ayah sampai kapanpun.” Kebahagiaan kembali
hadir di dalam keluarga Syifa, setelah melewati hari-hari yang penuh kegalauan.
“Anak
sahabat Ayah itu, orangnya seperti apa Yah? Terus, namanya siapa?”
“Nanti
malam, kamu akan tahu Syifa,” sambil tersenyum bahagia.
“Nanti
malam Yah?”
Lepas
dari hari penuh kegalauan, Syifa harus menyapa hari penuh rasa deg-degan. Seharian, ayah dan ibu Syifa
membuat persiapan untuk menyambut keluarga sahabat ayah Syifa. Syifa tidak mampu
melakukan apapun selain duduk, tiduran, memandangi bayangannya di cermin, dan
beberapa kali mendengarkan pesan Nuri. Karena terlalu bingung dengan keadaan di
dalam rumah dan perasaan aneh di dalam hati Syifa, Syifa berjalan-jalan di
sekitar taman yang menjadi saksi perjalanan cinta Syifa untuk Ilham. Di taman
itu pula, perasaan Syifa yang campur aduk antara bahagia, sedih, kecewa, takut,
ragu, namun masih begitu indah harus hadir kembali.
Ketika
Syifa berjalan menuju ayunan yang ada di sudut taman, Syifa menghentikan
langkahnya. Jantungnya berdetak begitu kencang, beban yang begitu berat kembali
berada di pundak Syifa saat melihat Ilham ada di atas ayunan kesayangannya.
Tidak ada gitar yang dulu lagi di tangan Ilham. Sedikit perubahan tampak dari
sosok Ilham dengan kacamata yang baru dilepasnya. Lampu merah kembali
menghadang Syifa, namun kali ini lampu merah itu memberikan senyuman yang
begitu hangat untuk Syifa. Di dalam hati Syifa seperti ada sesuatu yang memberontak
bahwa keputusan yang telah Syifa ambil adalah salah. Namun, mengingat
kebahagiaan kedua orangtuanya, hati Syifa menjadi sedikit lebih tenang dan
dalam hatinya, “Di depan sana, ada seseorang yang selalu ada dalam penantianku
selama ini. Ya Allah, izinkanlah hamba melakukan ini. Mudah-mudahan ini yang
terbaik untuk kami. Kak Ilham, mungkin sampai sekarang Kakak belum menyadari
perasaan Syifa untuk Kakak. Tapi senyuman Kakak untuk Syifa ini, lebih penting
dari sekadar Kakak menyadari perasaan Syifa. Mulai hari ini, Syifa akan
berusaha melepaskan cinta Syifa untuk Kakak.” Dan untuk pertama kalinya, Syifa
memberikan senyuman hangat untuk pujaan hatinya. Syifa pulang ke rumah dengan
perasaan bahagia setelah bertemu Ilham. Karena itu artinya, mimpinya bertemu
kembali dengan Ilham telah terwujud hari ini. Memasuki pintu rumah, ibu Syifa
langsung memberikan Syifa pakaian serba baru. Rok panjang berwarna putih dari
kain sutera, baju pink dengan border yang manis, dan kerudung putih. Ternyata
ada banyak hal yang harus Syifa lakukan untuk menyambut keluarga sahabat
ayahnya.
Dan
malam yang dinanti akhirnya tiba. Suara mobil terdengar berhenti di depan rumah
Syifa. Satu persatu, terdengar pintu mobil dibuka, ditutup kembali, dan….
“Assalamu’alaikum,”
terdengar salam dari luar rumah. Pintu rumah segera dibuka oleh ayah Syifa
dengan cepat.
“Wa’alaikumsalam,”
pelukan hangat penuh kebahagiaan antara dua sahabat lama pun terjadi. Keluarga
Syifa dan sahabat Ayah Syifa terlihat begitu akrab, seolah tidak pernah ada
ruang dan waktu yang memisahkan mereka.
Syifa
masih belum berani keluar dari kamarnya. Perlahan, Syifa membuka pintu
kamarnya. Sedikit demi sedikit, Syifa berhasil mengamati orang-orang yang baru
datang ke rumahnya. Syifa melihat dua orang yang terlihat seperti sepasang
suami istri seumuran orang tua Syifa, mereka berdua pasti sahabat ayah Syifa.
Di samping mereka, ada seorang perempuan cantik berkerudung biru langit,
seorang laki-laki berkaca mata yang mungkin lebih tua dari perempuan itu
menggendong seorang bayi, dan seseorang lagi yang kurang begitu jelas terlihat
karena terhalang oleh tubuh ayah Syifa yang cukup tambun. Saat Syifa dipanggil
untuk segera berkenalan dengan rombongan tamu istimewa itu, Syifa masih belum
ingin beranjak dari tempatnya berdiri. Sampai akhirnya, ibu Syifa harus
menggandeng Syifa keluar dari kamarnya. Memasuki ruang tamu, Syifa masih
menundukkan kepalanya dan perlahan memandang satu persatu orang di ruangan itu.
“Ini
Syifa ya? Cantik kan Ham? Syifa, anak tante ini belum pernah punya pacar loh. Saat
tante mempertanyakan sikap anak tante itu, dia selalu bilang seperti ini ke
tante, ‘Sudah ada hati seorang gadis yang harus Ilham jaga Umi’, dan tante selalu
berharap agar Allah menggariskan anak tante dan gadis itu untuk berjodoh.
Syifa, gadis itu ada di hadapan tante sekarang,” Syifa hanya bisa tersenyum malu
mendengar kata-kata istri sahabat ayahnya itu dan berusaha memperjelas
pendengarannya karena ada nama seseorang yang pernah menjadi pujaan hatinya.
Saat
Syifa memandang ke arah sosok laki-laki yang sejak tadi belum berhasil dia
amati, hanya satu kata yang dapat terucap dari bibir Syifa, “Allahuakbar!”
Itulah
salah satu takdir cinta. Putra sahabat ayah Syifa yang akan dijodohkan dengan
Syifa adalah Ilham. Ilham, pemuda yang selalu ada dalam penantian Syifa. Selama
ini, Syifa menanti cinta Ilham, menjaga hatinya untuk Ilham, sampai akhirnya
merelakan perasaannya itu untuk pergi. Dan takdirlah yang mempertemukan Syifa
dengan Ilham, seorang pemuda yang menjaga hati Syifa. Siapa pun tidak pernah
tahu tentang takdir dan cinta. Syifa memang berusaha menanti cintanya dengan
cara yang rumit. Namun Syifa mendapatkan cintanya dengan cara yang sederhana.
Karena itulah, cinta yang telah Allah anugerahkan untuk manusia selalu penuh
keajaiban.
Pertemuan
dua hati yang akhirnya melahirkan rasa cinta memang sangat indah. Suatu saat
nanti setiap manusia pasti akan bertemu jodohnya, entah di dunia ataupun di
akhirat. Namun, Allah pasti mempertemukan hati hamba-Nya dengan cara yang
paling baik dan paling modern yang tidak dapat dicapai oleh peradaban manusia manapun,
karena cinta selalu melibatkan dua hati. Karena cinta yang indah selalu membuat
hati pemiliknya semakin mencintai Rabbnya, membimbing hati pemiliknya untuk
selalu menjadi lebih baik dan bermanfaat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar