MENGANGKAT KEARIFAN LOKAL
SEBAGAI BASIS PENGELOLAAN HUTAN LESTARI
PENDAHULUAN
Lingkungan
hidup merupakan anugrah Tuhan Yang Maha Esa yang wajib dilestarikan dan
dikembangkan kemampuannya agar tetap dapat menjadi sumber penunjang hidup bagi
manusia dan makluk hidup lainnya demi kelangsungan dan peningkatan kualitas
hidup itu sendiri.[1]
Dalam mengejar pertumbuhan ekonomi untuk mendukung peningkatan kesejahteraan
sering terjadi pacuan pertumbuhan tidak terduga terhadap lingkungan alam dan
lingkungan sosial.[2]
Pembangunan yang dilakukan dengan menggali dan mengekslorasi Sumber Daya Alam
sering kali tanpa memperdulikan lingkungan, hingga menyebabkan memburuknya
kondisi lingkungan dan menimbulkan berbagai masalah.
Pengelolaan
pembangunan yang diperkirakan mempunyai dampak terhadap lingkungan
dipersyaratkan untuk memperhatikan lingkungan hidup. Dalam perkembangannya,
maka setiap aktivitas dalam pembangunan yang bersentuhan dengan lingkungan
hidup membutuhkan standar Baku Mutu Lingkungan (BML). Sehubungan dengan hal
tersebut, Siti Sundari Rangkuti)[3]
menyatakan bahwa "Baku Mutu Lingkungan diperlukan untuk
memberikan pedoman terhadap pengelolaan lingkungan secara konkret; dasar
hukumnya terdapat dalam Pasal 14 UUPLH (UU No. 23 Tahun 1997) yang diatur
dengan Peraturan Pemerintah (PP)".
Ketentuan ini berbeda
dengan Pasal 15 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan
Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup yang menetapkan bahwa Baku Mutu Lingkungan
diatur dengan peraturan perundang-undangan. Dengan demikian, Baku Mutu
Lingkungan merupakan instrumen yang penting dalam pengelolaan lingkungan hidup.
Adanya aktivitas atau kegiatan produksi yang tidak sesuai dengan Baku Mutu
Lingkungan yang ada, berarti telah terjadi pelanggaran terhadap ketentuan hukum
yang berlaku. Pada tingkat tertentu, jika terjadi pencemaran lingkungan, maka
hal tersebut dapat diklarifikasikan sebagai suatu tindak pidana terhadap
lingkungan hidup. Hal ini dapat diproses secara hukum ke pengadilan.
Adanya
keinginan masyarakat melalui LSM lingkungan atau perorangan yang diinformasikan
melalu media masa untuk membawa pelaku tindak kejahatan lingkungan ke
pengadilan, makin memberi alasan agar pelaku tindak kejahatan terhadap
lingkungan harus dibuat jera, agar diproses menurut ketentuan hukum yang ada.
Masalah lingkungan tidak selesai dengan memberlakukan Undang-Undang dan
komitmen untuk melaksanakannya. Penetapan suatu Undang-Undang yang mengandung
instrumen hukum masih diuji dengen pelaksanaan (uitvoering atau implementation) dan merupakan bagian dari mata
rantai pengaturan (regulatory chain)
pengelolaan lingkungan. Dalam merumuskan kebijakan lingkungan, Pemerintah
lazimnya menetapkan tujuan yang hendak dicapai. Kebijakan lingkungan disertai
tindak lanjut pengarahan dengan cara bagaimana penetapan tujuan dapat dicapai
agar ditaati masyarakat.
Undang-Undang
No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPLH) mendasari
kebijaksanaan lingkungan di Indonesia, karena Undang-Undang, peraturan
pemerintah dan peraturan pelaksanaan lainnya merupakan instrumen kebijaksanaan
(instrumenten van beleid). Instrumen
kebijaksanaan lingkungan perlu ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan
lingkungan demi kepastian hukum dan mencerminkan arti penting hukum bagi
penyelesaian masalah lingkungan. Instrumen hukum kebijaksanaan lingkungan (juridische milieubeleidsinstrumenten) ditetapkan
oleh pemerintah melalui berbagai sarana yang bersifat pencegahan, atau
setidak-tidaknya pemulihan, sampai tahap normal kualitas lingkungan.[4]
Dari latar belakang dan landasan sebagaimana yang
telah penulis uraikan diatas dapat diketahui letak perumusan masalahnya seperti
:
1. Seperti
apa eksistensi Masyarakat adat, lokal, tradisional dalam pengelolaan hutan ?
2. Aspek
pengelolaan Sumber Daya Alam seperti apa yang lebih mengacu terhadap
perekonomian selain aspek konservasi dan pelestarian lingkungan ?
3. Bagaimana
langkah masyarakat untuk melakukan Pengelolaan Hutan Lestari melalui Kearifan
Lokal ?
Melalui
penulisan ini diharapkan eksistensi Masyarakat adat, lokal, tradisional dalam
pengelolaan Hutan melalui hubungan antara
Indonesia –Maroko dapat Mengetahui
Aspek
pengelolaan Sumber Daya Alam seperti apa yang lebih mengacu terhadap
perekonomian selain aspek konservasi dan pelestarian lingkungan. Dan mengetahui langkah yang tepat dalam melakukan
Pengelolaan Hutan Lestari melalui Kearifan Lokal.
LANDASAN TEORI
Istilah
"mutu" dapat menimbulkan
pengertian yang ambivalen dan banyak orang yang senang menggunakan istilah
"Nilai Ambang Batas".
Perbedaan kedua istilah itu adalah bahwa
Mutu Lingkungan mempunyai karakter diwajibkan. Dengan demikian, Mutu Lingkungan selalu merupkan Nilai Ambang
Batas tetapi tidak semua Nilai Ambang Batas merupakan Mutu Lingkungan selama tidak diwajibkan
berdasarkan ketentuan hukum. Karena dari aspek yuridis dan teknis ekologi,
fungsi Mutu Lingkungan dalam pengelolaan
lingkungan terutama untuk menentukan ada atau tidak ada pencemaran terhadap
lingkungan. Untuk menentukan ada atau tidak ada kerusakan lingkungan, UUPLH
mengintrodusir istilah Kriteria Kerusakan Lingkungan (KBKL), bagi kegiatan yang
mempunyai "dampak besar dan penting"
terhadap lingkungan, Mutu Lingkungan
dikaitkan lebih jauh dengan prosedur AMDL. Mutu Lingkungan harus tercermin
dalam rencana pengelolaan lingkungan (RKL). Sementara Problematika Privatisasi belakangan ini menjadi pembicaraan
hangat masyarakat setelah pemerintah berulang kali melakukan privatisasi
tersebut. Privatisasi diartikan sebagai upaya untuk menghilangkan konsentrasi
kepemilikan baik oleh pemerintah maupun swasta.
Padahal kondisi riilnya seperti konsentrasi
kepemilikan sangat rawan terhadap kegagalan pasar disebabkan moral hazard dan sebagainya. Selain itu,
konsentrasi kepemilikan dapat menimbulkan terjadinya cross-ownership dan
cross-management. Di Indonesia isu privatisasi mulai diperkenalkan sejak
terjadinya krisis ekonomi 1997. Dilihat secara faktual kebijakan privatisasi
bukan merupakan sesuatu yang mudah dalam pelaksanaannya. Dalam dua tahun
anggaran terakhir program privatisasi di Indonesia belum mencapai target. Hal
ini menunjukkan bahwa privatisasi memerlukan persiapan dan kesiapan perusahaan
yang akan di privatisasi.
Hal tersebut terlihat jelas akan berdampak benturan
kepentingan, dan penyalahgunaan bank untuk mendukung kepentingan pribadi
pengusaha. Kondisi inilah yang dialami perbankan di Indonesia. Oleh karena itu
perlunya Undang-Undang Privatisasi[5] yang tidak lepas dari aspek pengelolaan
Sumber Daya Alam Industri guna mencegah Dampak buruk akibat dari privatisasi. Selain
dari pada itu, penegakan hukum lingkungan semakin penting sebagai salah satu
sarana untuk mempertahankan dan melestarikan lingkungan hidup yang baik.
Penegakan hukum yang berkaitan dengan masalah lingkungan hidup meliputi aspek
hukum pidana, perdata, tata usaha negara dan hukum internasional.
PEMBAHASAN
Tidak
dapat dipungkiri bahwa masyarakat adat, lokal, tradisional yang bertempat
tinggal di dalam maupun disekitar hutan telah melakukan pengelolaan hutan sejak
ratusan tahun yang lalu hingga saat ini secara turun temurun. Pengelolaan hutan
tersebut dilakukan berdasarkan kearifan, aturan dan mekanisme kelembagaan yang
ada dan mampu serta teruji menciptakan tertib hukum pengelolaan, pengelolaan
yang berbasis masyarakat dan pemanfaatannya berdimensi jangka panjang. Dapat
dikatakan bahwa tingkat kerusakan hutan yang ditimbulkan sangatlah kecil. Menurut
data dari Direktorat Jenderal PHKA (Perlindungan
Hutan dan Konservasi Alam) saat ini terdapat sekitar 2.040 Desa penyangga
kawasan konservasi yang jumlah penduduknya mencapai sekitar 660.845 keluarga.[6] Sebagian penduduk tersebut
bergantung pada sumber daya alam di kawasan hutan termasuk Propinsi Banten yang
memiliki hutan tropis yang luas, namun bersamaan dengan peningkatan jumlah
penduduk kualitas dan kuantitas hutan terus mengalami penurunan. Dari sekitar
250 ribu hektar hutan yang ada di Banten, 90 ribu hektar atau 36 persen di
antaranya dalam kondisi rusak parah.
Tekanan
terhadap ekosistem hutan di bagian utara Banten jauh lebih besar dibandingkan
bagian selatan. Bagian utara Banten yang meliputi Kota dan kabupaten Tangerang,
Kabupaten Serang dan Kota Cilegon memiliki tingkat kepadatan penduduk yang sangat tinggi, sehingga
eksploitasi sumberdaya alam termasuk hutan, berlangsung cepat dan boros. Di
bagian selatan Banten, yang meliputi Kabupaten Lebak dan Pandeglang kerusakan
hutan tidak separah di bagian utara. Namun eksploitasi terus berlangsung,
sebagai gambaran di kawasan hutan Gunung
Halimun dan Gunung Kendeng, Kecamatan Cibeber, Kabupaten Lebak yang berbatasan
dengan Kabupaten Bogor, Jawa Barat dengan kondisi areal tertutup vegetasi hutan
tinggal 75-80 % dengan kata lain 20-25 % areal hutan sudah gundul. Sumber daya
hutan berada dalam kondisi kritis, Arif Aliadi dalam Haeruman (1995) mengemukakan
pada Tahun 1970 luas hutan Indonseia 143,5 Juta hektar. Luas hutan tersebut
mengalami penurunan yang cukup signifikan menjadi 104,6 Juta pada tahun 1990,
dan pada tahun 2030 diperkirakan luasnya menjadi 61 juta hektar. Apabila
dilihat dari nilai uang maka kehilangan riil dari asset berupa hutan mencapai
202 triliun rupiah pada tahun 1990 dan 422 triliun rupiah pada tahun 2030.
Kondisi
tersebut akan tetap buruk karena luas hutan tanaman baru pada tahun 2030
diperkirakan baru mencapai 4 juta hektar. Sesungguhnya untuk mengantisipasi
kerusakan hutan tersebut, pemerintah Indonesia telah melakukan upaya di
antaranya dengan reboisasi hutan melalui program GERHAN (Gerakan Rehabilitasi Hutan dan Lahan) melalui berbagai upaya
konservasi berupa pelestarian genetika, jenis dan ekosistem yang dilakukan
dalam bentuk penetapan sejumlah kawasan konservasi seperti taman nasional,
cagar alam, suaka margasatwa, wisata alam dan hutan lindung. Kawasan konservasi
tersebut ditetapkan untuk tujuan (a) perlindungan ekosistem (b) pelestarian
sumber daya genetik dan (c) pemanfataan yang lestari.
Program
reboisasi yang dilaksanakan di kawasan hutan dengan melibatkan masyarakat hingga
saat terus mengalami kegagalan atas keterbatasan sumber daya manusia kehutanan.
Kasus ini menjadi menarik karena ternyata yang menjadi sumber persoalan adalah
belum bertemunya dua titik kepentingan antara masyarakat sekitar hutan dengan
pengelola. Program-program yang direncanakan dan yang sudah dilaksanakan jarang
melibatkan masyarakat sebagai stakeholder
pengelolaan hutan. Menurut Munggoro (1998) kegagalan mengatasi krisis
lingkungan dan ekonomi telah menyadarkan berbagai pihak untuk menengok kembali
apa yang disebut sebagai kekuatan lokal(empowering the local). Pada
waktu yang sama, pengakuan akan kemampuan masyarakat dalam mengembangkan dan
menggunakan tradisinya untuk membangun hutan yang belum proporsional.
Kurang
berhasilnya konservasi disebabkan oleh tidak dipertimbangkan faktor politik,
ekonomi dan sosial-budaya. Aspek ekologi meliputi upaya akonservasi untuk
mengatasi kerusakan alam. Secara politik ekonomi, konservasi sumber daya hutan
harus dilihat berdasarkan kepentingan pusat dan daerah. Berdasarkan UU No. 41
Tahun 1999 tentang kehutanan dan UU No. 29 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah,
pengelolaan kawasan konservasi masih ditangani oleh Pemerintah Pusat. Bagi
Pemerintah daerah, kawasan konservasi dirasakan sebagai beban yang dikarenakan
tidak menghasilkan pendapatan daerah yang signifikan. Hal ini seharusnya tidak
boleh terjadi, karena bagaimanpun kawasan konservasi memiliki peran dalam
pembangunan daerah, terutama dalam menjaga kelestarian sistem penyangga di
seuatu wilayah administrasi. Namun demikian ke depan perlu digali potensi SDA
dalam kawasan konservasi yang dapat berperan untuk meningkatkan pendapatan asli
daerah. Berikut Jumlah dan Luas Kawasan Konservasi yang penulis himpun secara
luas agar dapat dijakan landasan kebijakan pemerintah kuat dalam mengangkat
kearifan lokal untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat :
Tabel 1.1[7]
Rekapitulasi Data Kawasan Konservasi
No
|
Fungsi Kawasan Konservasi
|
Jumlah
|
Luas (Ha)
|
1
|
Cagar
Alam
|
243
|
4.333.630,44
|
2
|
Cagar
Alam Laut
|
5
|
152.610,00
|
3
|
Suaka
Margasatwa
|
73
|
5.052.973,64
|
4
|
Suaka
Margasatwa Laut
|
2
|
5.220,00
|
5
|
Taman
Nasional
|
43
|
12.284.031,34
|
6
|
Taman
Nasional Laut
|
7
|
4.043.541,30
|
7
|
Taman
Wisata Alam
|
104
|
258.469,85
|
8
|
Taman
Wisata Alam Laut
|
14
|
491.248,00
|
9
|
Taman
Buru
|
14
|
225.103,94
|
10
|
Taman
Hutan Raya
|
22
|
344.174,41
|
Jumlah
|
537
|
27.190.992,91
|
Secara
sosial budaya, pengelolaan sumber daya hutan merupakan hal yang sudah biasa
dilakukan oleh sekelompok masyarakat tertentu. Banyak contoh menunjukkan
keberhasilan masyarakat lokal dalam mengelola sumber daya hutan lestari. Namun
berbagai contoh tersebut seringkali terabaikan dalam mengelelola kawasan hutan
seperti masyarakat yang mendiami kawasan pantai Anyar kawasan wilayan selatan
Kota Cilegon. Pada dasarnya masyarakat Cilegon mempunyai sistem
pengetahuan yang baik mengenai keanekaragaman sumber daya tumbuhan dan
kondisi lingkungan secara turun-temurun. Hal tersebut ditunjukkan dengan cara
mengenal keanekaragaman jenis tumbuhan tersebut sekaligus memanfaatkannya. Bagi masyarakat yang
mendiskripsikan bagian-bagian tumbuhan dengan baik dan memberikan penamaan di
setiap bagian tumbuhan sangat penting bagi dunia Pendidikan supaya dapat membedakan jenis satu dengan jenis yang
lainnya dengan mengenal keanekaragaman kondisi lingkungan di sekitarnya.
B.
Pengelolaan
Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup
Sumber
Daya Alam dan lingkungan hidup merupakan sumber kehidupan umat manusia dan
makhluk hidup lainnya. Sumber Daya Alam yang telah dikelola akan menyediakan
sesuatu yang diperoleh dari lingkungan fisik untuk memenuhi kebutuhan dan
keinginan manusia sementara lingkungan dalam arti luas bagi manusia merupakan tempat
melakukan aktifitas. Untuk itu, pengelolaan Sumber Daya Alam harus lebih
mengacu kepada aspek konservasi dan pelestarian lingkungan.
Eksploitasi
Sumber Daya Alam yang hanya berorientasi ekonomi hanya membawa efek positif
secara ekonomi tetapi menimbulkan efek negatif bagi kehidupan umat manusia.
Oleh karena itu pembangunan tidak hanya memperhatikan aspek hukum, dan aspek
ekonomi. Namun lebih mengarah kepada
aspek etika dan sosial yang berhubungan dengan kelestarian, kemampuan,
dan daya dukung Sumber Daya Alam. Pembangunan ekonomi industri melalui
pemanfaatan Sumber Daya Alam dan lingkungan hidup menjadi acuan bagi
kegiatan berbagai sektor pembangunan agar tercipta keseimbangan dan kelestarian
fungsi sumber daya alam dan lingkungan hidup sehingga keberlanjutan pembangunan
tetap terjamin.
Dalam
meningkatkan kapasitas industri sering diwarnai atas terkendala infrastruktur,
energi, dan iklim Investasi untuk meningkatkan efisiensi yang terkendala oleh
ekonomi biaya tinggi dan rendahnya produktivitas tenaga kerja. Selain hal
tersebut masih terjadi kesimpangsiuran dan inkonsistensi regulasi, lemahnya
kepastian hukum, dan rendahnya kemampuan untuk mempercepat belanja daerah yang
sangat berpengaruh terhadap minat pengusaha untuk berinvestasi. Hal ini menyebabkan
perekonomian di sektor riil tidak mampu menyerap ekses likuiditas di pasar
keuangan. Kendala yang dihadapi telah diyakini tidak akan teratasi dalam waktu
singkat. Ketersediaan energi dan infrastruktur membutuhkan waktu yang cukup
panjang, dari 3 hingga 5 tahun untuk mulai menghasilkan energi dan
infrastruktur lainnya sebagai kebutuhan dasar setiap industri.
UUD Tahun 1945 Pasal
33 ayat (3) menjelaskan
bahwa segala sesuatu mengenai sumber daya alam termasuk di dalamnya air beserta
kekayaan alam lainnya berada dalam wilayah teritori NKRI untuk dikuasai,
diatur, dikelola, dan didistribusikan oleh pemerintah melalui segenap lembaga
pengelola Sumber Daya Alam untuk mewujudkan kemakmuran maupun mensejahterakan
rakyat. Sejauh ini pemerintah dinilai telah berusaha menjalankan kewajibannya
sehubungan dengan isi ayat pasal tersebut. Sehingga dibentuklah lembaga-lembaga
yang ditugasi untuk mengurusi dan mengelola berbagai elemen alam milik bumi
Indonesia. Seperti BUMN (Badan Usaha
Milik Negara) yang mempunya kewenangan dalam mengelola maupun melestarikan
Sumber Daya Alam seperti PAM (Perusahaan
Air Minum), Lemigas (Lembaga Minyak
dan Gas), Pertamina, PLN (Perusahaan
Listrik Negara), dan lain sebagainya. Ini semua menunjukan negara sudah
menjalankan kewajibannya sesuai amanah UU diatas sebagai tahap pertama.
Namun
setelah terbentuknya lembaga tersebut tugas pemerintah belum sepenuhnya
selesai. Kenyataan yang ada sekarang ini adalah masih banyaknya rakyat yang
merasa dirugikan atau kurang diperlakukan dengan adil menyangkut kebutuhannya
akan elemen alam tersebut.[8]
Pada tulisan ini yang dapat penulis garis bawahi bahwa setiap rakyat pada
dasarnya tidak mengalami kesulitan dalam memperoleh hal-hal tersebut mengingat
negara Indonesia kaya akan Sumber Daya Alam yang dilihat dari berbagai
unsur-unsur alam. Praktek salah urus dalam pengelolaan Sumber Daya Alam
bermuara dari kebijakan yang menuai kecaman banyak pihak yaitu Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 Tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Berikut aspek-aspek Sumber Daya
Alam dan Lingkungan hidup :
1) Aspek
Konservasi
Globalisasi menyebabkan pengaruh sektor
bisnis sangat besar pada kelangsungan keanekaragaman hayati. Dari pengeboran
minyak di pedalaman hutan hujan tropis hingga pada teknologi informasi yang
memberikan pengaruh pada pengelolaan sumber daya alam dengan lebih baik. Dunia
usaha telah menawarkan berbagai tantangan dan kesempatan bagi konservasi. Untuk
memberdayakan kekuatan pada sektor bisnis, terutama industri yang dapat
mengancam keanekaragaman hayati, untuk mencegah dan mengurangi dampak negatif
industri pada lingkungan serta mencari dan menciptakan solusi konservasi. Hal
ini berarti pula memobilisasi sumberdaya dari sektor bisnis dan bekerjasama
dengan dunia usaha untuk mendidik para pengambil keputusan, mitra kerja,
pegawai dan konsumen bisnis tersebut tentang ancaman terhadap keanekaragaman
hayati dan mencari solusinya.
Conservation
International (CI) Indonesia telah merintis upaya kemitraan
dengan sektor industri yang memiliki kesamaan visi. Melalui Global Environment Facility (GEF), CI
memfasilitasi pendanaan ForesTrade
untuk kegiatan usaha kecil dan menengah. Dana tersebut dialokasikan untuk
pinjaman bagi kegiatan usaha yang mendukung upaya konservasi lingkungan. ForestTrade adalah perusahaan yang
bergerak di bidang perdagangan dan pengembangan produk khusus untuk
produk-produk organik bersertifikat yang dipanen secara berkelanjutan.
2) Aspek
Pelestarian Lingkungan
Lingkungan
hidup merupakan karunia dan rahmat Tuhan Yang Maha Esa kepada rakyat dan bangsa
Indonesia yang menjadi ruang kehidupan dalam segala aspek sesuai dengan wawasan
Nusantara, dan dalam pendayagunaan Sumber Daya Alam untuk memajukan
kesejahteraan umum sebagaimana diamanatkan dalam UU Dasar 1945[9]
serta mencapai kebahagian hidup berdasarkan Pancasila perlu dilaksanakan
pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup berdasarkan
kebijaksanaan nasional yang terpadu dan menyeluruh dengan memperhitungkan
kebutuhan generasi masa kini dan generasi masa depan. Atas dasar tersebut maka
perlunya melaksanakan pengelolaan lingkungan hidup untuk melestarikan dan
mengembangkan kemampuan lingkungan hidup yang serasi, selaras, dan seimbang
guna menunjang terlaksananya pembangunan berkelanjutan yang berwawasan
lingkungan hidup dimana setiap penyelenggaraan pengelolaan lingkungan hidup
harus didasarkan pada norma hukum yang dilihat dari angka kesadaran masyarakat
dan perkembangan lingkungan global serta perangkat hukum internasional yang
berkaitan dengan lingkungan hidup.
Mewujudkan supremasi hukum melalui upaya
penegakan hukum serta konsisten akan memberikan landasan kuat bagi
terselenggaranya pembangunan, baik dibidang ekonomi, politik, sosial budaya,
pertahanan keamanan. Namun dalam kenyataan untuk mewujudkan supremasi hukum
tersebut masih memerlukan proses dan waktu agar supremasi hukum dapat
benar-benar memberikan implikasi yang menyeluruh terhadap perbaikan pembangunan
nasional. Dalam hubungan dengan Undang-Undang
No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, penegakan hukum
dibidang lingkungan hidup dapat diklasifikasikan kedalam 3 (tiga) kategori
yaitu :
1
Penegakan hukum Lingkungan dalam
kaitannya dengan Hukum Administrasi (Tata
Usaha Negara).
2
Penegakan Hukum Lingkungan dalam
kaitannya dengan Hukum Perdata.
3
Penegakan Hukum Lingkungan dalam
kaitannya dengan Hukum Pidana.
Permintah telah melakukan berbagai upaya
penegakan hukum terhadap unit usaha maupun kegiatan yang tidak melalukan upaya
pengelolaan lingkungan hidup dengan baik, karena upaya pengelolaan lingkungan
hidup sebagai bagian yang integral dari upaya pembangunan yang berkelanjutan
yang berwawasan lingkungan. Penegakan hukum lingkungan secara konsekuen
tentunya perlu keseriusan dari seluruh lepisan masyarakat sehingga permasalahan
lingkungan dapat diminimalisasikan.
3) Aspek
Konservasi Industri
Perkembangan
geopolitik, demokratisasi, dan tuntutan otonomi daerah selain memberikan dampak
yang positif pada kehidupan bernegara telah memberikan pengaruh negatif pada
kualitas Sumber Daya Alam dan keragaman hayati, serta menimbulkan konflik
sosial yang berkepanjangan. Kegiatan seperti eksploitasi kayu legal dan tidak
legal, ekspansi perkebunan kelapa sawit skala besar, dan pembangunan jaringan
jalan, pertambangan, dan pengambilan sumberdaya laut secara berlebihan yang
merupakan contoh kegiatan ekonomi mikro mengalami lenyapnya hutan tropis,
ekosistem pantai rusak, dan terumbu karang mengalami kehancuran.
Sementara itu, ancaman terhadap
kerusakan hutan belum dapat ditekan secara signifikan. Walaupun kebutuhan akan
sumber daya hutan tidak dapat dielakkan. Pembukaan hutan untuk kepentingan
pembangunan, termasuk untuk produksi hasil hutan seringkali menjadi salah satu
faktor selain banyaknya penebangan kayu ilegal, konversi lahan hutan, kebakaran
hutan dan penangkapan spesies dilindungi. Berikut Program Ekonomi melalui
Kebijakan Konservasi ditujukan untuk mempengaruhi para pengambil keputusan
dengan cara memperlihatkan nilai-nilai ekonomi dari keanekaragaman hayati,
memperkuat strategi konservasi dengan menggunakan sudut pandang ekonomi pada
perencanaan konservasi yang lebih terbuka dan terpadu, serta mengoptimalkan
kinerja kegiatan konservasi dengan menciptakan insentif ekonomi bagi pihak yang
terlibat.
Pengelolaan Konsesi Konservasi merupakan
inisiatif untuk mengganti konsesi yang diberikan pada kawasan dengan
keanekaragaman hayati tinggi yang secara komersial dieksploitasi, menjadi
kawasan untuk konservasi. Kawasan tersebut kemudian dikelola untuk kepentingan
pembangungan berkelanjutan melalui kegiatan ekonomi berbasis masyarakat.
Kompensasi diberikan kepada pemerintah daerah dengan melakukan penguatan
perencanaan pembangunan, peningkatan kapasitas Sumber Daya Manusia beserta
institusinya, untuk menuju pemerintahan yang lebih baik.
C.
Kearifan
Lokal dan Pengelolaan Hutan Lestari
Kelompok
masyarakat tradisional yang hidupnya sangat tergantung kepada sumber daya alam
hayati dan kondisi lingkungan di sekitarnya dengan berusaha mengenali,
memahami, dan menguasai agar mampu memanfaatkannya seoptimal mungkin untuk
memenuhi kebutuhan hidupnya. Sebelum masyarakat tersebut menerapkan teknologi
adaptasi terhadap sumber daya alam hayati dan kondisi lingkungan, setiap
masyarakat mempunyai kesempatan untuk mengenali karakter sumber daya alam dan
lingkungan tersebut. Pengenalan, pemahaman, dan penguasaan tersebut merupakan
tahapan penting bagi masyarakat tradisional yang tinggal di sekitar
hutan.
Pengetahuan
lokal adalah pengetahuan yang dikembangkan oleh suatu komunitas masyarakat
selama berabad-abad. Menurut Mathias (1995) Pengetahuan lokal dikembangkan berdasarkan
pengalaman sebagaimana yang telah diuji penggunaannya setelah diadaptasikan
dengan budaya dan lingkungan setempat (lokal), serta bersifat dinamis dan
berubah-ubah. Menurut Darusman dalam Suharjito (2000) kearifan lokal atau
tradisional mengandung arti resultante dan keseimbangan
optimum yang sesuai dengan kondisi yang ada. Kearifan lokal merupakan salah
satu menifestasi kebudayaan sebagai system yang cenderung memegang erat
tradisi, sebagai sarana untuk memecahkan persoalan yang sering dihadapi oleh
masyarakat lokal.
Data
dan fakta lapangan yang dikumpulkan oleh para peneliti dan pegiat LSM telah
membuktikan bahwa wilayah adat yang pengelolaan sumber daya alamnya dikelola
secara otonom oleh berbagai komunitas adat ternyata mampu menjaga kelestarian.
Realitas demikian merupakan pertanda bahwa masa depan keberlanjutan sumber daya
alam berada di tangan masyarakat yang berdaulat memelihara kearifan adat dan
praktek-praktek pengelolaan sumber daya alamnya. Sebagian dari masyarakat adat
terbukti mampu menyangga kehidupan dan keselamatan sebagai komunitas dan
sekaligus menyangga layanan sosio-ekologis alam untuk kebutuhan seluruh
makhluk, termasuk manusia. Sistem lokal berbeda dengan system satu sama lainnya
sesuai dengan kondisi sosial budaya dan tipe ekosistem setempat. Namun secara
umum bisa terlihat prinsip-prinsip kearifan tradisional yang dihormati dan
dipraktekkan oleh kelompok-kelompok masyarakat adat, diantaranya :
a. Masih
hidup selaras dengan mentaati mekanisme alam dimana manusia merupakan
bagian dari alam itu sendiri yang harus dijaga keseimbangannya.
b. Bahwa
suatu kawasan hutan tertentu masih bersifat eksluksif sebagai hak
pengusaan dan/atau kepemilikan bersama (communal property resources) yang dikenal sebagai
wilayah adat sehingga mengikat semua warga untuk menjaga dan
mengamankan dari pihak luar.
c. Sistem
pengetahuan dan struktur pemerintah adat mampu memberikan kemampuan
untuk memecahkan problematika kehutanan yang masyarakat hutan hadapi,
termasuk berbagai konflik dalam pemanfaatan sumber daya hutan.
d. Sistem
alokasi dan penegakan hukum adat untuk mengamankan sumber daya milik
bersama dari penggunaan berlebihan, baik oleh masyarakat sendiri maupun
oleh orang luar komunitas.
e. Mekanisme
pemerataan distribusi hasil “panen”
sumber daya alam milik bersama yang bisa meredam kecemburuan sosial
di tengah masyarakat.
Berbagai
prinsip tersebut dapat dikatakan mengalami perkembangan secara evolusioner
sebagai akumulasi dari temuan pengalaman masyarakat selama ratusan tahun. Oleh
karena itu prinsip tersebut lebih bersifat multi dimensional dan terintegrasi
dalam sistem religi, struktur sosial, hukum dan pranata atau institusi adat
yang bersangkutan. Kalau komunitas masyarakat adat dapat membuktikan diri mampu
bertahan hidup dengan sistem lokal yang ada, apakah tidak mungkin bahwa potensi
sosial budaya yang besar akan dikembalikan vitalitasnya dalam pengelolaan
sumber daya alam dan sekaligus untuk menghentikan pengrusakan terhadap
masyarakat adat. Kearifan lokal yang berbasis komunitas ini merupakan potensi sosial
budaya untuk direvitalisasi, diperkaya, diperkuat dan dikembangkan sebagai
landasan baru menuju perubahan kebijakan yang tepat untuk tujuan keberlanjutan
ekologis. Dengan pranata sosial yang bersahabat dengan alam, masyakarat adat
diyakini memiliki kemampuan yang memadai untuk melakukan rehabilitasi dan
memulihkan kerusakan ekologis di areal-areal bekas konsesi HPH dan lahan-lahan
kritis (community based reforestation and rehabilition) dengan
pohon-pohon jenis asli yang bermanfaat secara subsisten dan komersial. Dengan
pengayaan (enrichment) terhadap pranata adat untuk pencapaian
tujuan-tujuan ekonomis, komunitas masyarakat adat diyakini mampu :
a. Mengelola
usaha ekonomi komersial berbasis sumber daya alam lokal yang ada di
wilayah adatnya seperti community logging, community forestry,
dan lain sebagainya.
b. Mengatur
dan mengendalikan “illegal logging” yang dimodali
cukong-cukong kayu.
c. Mengurangi
praktek-praktek “clear cutting” legal (dengan IPK) untuk
tujuan konversi hutan, dan mencegah penebangan hutan resmi yang merusak dan
tidak berkeadilan.
KESIMPULAN
Kondisi
dan berbagai fungsi hutan yang ada di Propinsi Banten perlu direvitalisasi begitu pula kebijakan
dan strategi dalam manajemen hutan perlu diperbaiki. Upaya yang harus ditempuh
Pemerintah Daerah (Pemda) dan masyarakat antara lain melalui penerapan teknik
silvikultur (perbaikan kualitas tegakan),
pengelolaan aspek ekologi (biodiversity),
konservasi tanah dan air, pencegahan bahaya kebakaran hutan, serta penelitian
dan pengembangan (Litbang) kehutanan.
Dalam
Litbang kehutanan di Propinsi Banten, beberapa perguruan tinggi yang ada di
Tangerang, Serang, Cilegon, Pandeglang, dan Lebak perlu diikutsertakan.
Perguruan tinggi tersebut diharapkan dapat menyelenggarakan kajian kehutanan
yang spesifik untuk kawasan masing-masing. Selain itu, melalui program
pengabdian masyarakat atau kuliah kerja nyata (KKN) dengan berupaya melakukan
pendampingan terhadap masyarakat di sekitar hutan. Untuk menyelamatkan hutan yang tersisa di Propinsi Banten yang
secara sosiolog bukan hanya menjadi tanggung jawab Pemda semata, tetapi juga
seluruh komponen masyarakat seperti lembaga pendidikan (dasar-menengah-tinggi),
LSM, Ormas, Orsospol, pengusaha, media massa, dan sebagainya. Pada tahun
1970-an di Propinsi Jawa Barat pernah ada Gerakan Gandrung Tatangkalan
(Rakgantang), alangkah baiknya jika di Propinsi Banten dilaksanakan langkah serupa.
Pengelolaan
Sumber Daya Alam harus lebih mengacu kepada aspek konservasi, aspek pelestarian lingkungan, dan aspek Konservasi
Industri. Eksploitasi Sumber Daya Alam yang berorientasi ekonomi akan membawa
efek positif secara ekonomi tetapi menimbulkan efek negatif bagi kehidupan umat
manusia. Oleh karena itu pembangunan tidak hanya memperhatikan aspek hukum, dan
aspek ekonomi. Namun lebih mengarah kepada
aspek etika dan sosial yang berhubungan dengan kelestarian, kemampuan,
dan daya dukung Sumber Daya Alam. Pembangunan ekonomi industri melalui
pemanfaatan Sumber Daya Alam dan lingkungan hidup menjadi acuan bagi kegiatan
berbagai sektor pembangunan agar tercipta keseimbangan dan kelestarian fungsi
sumber daya alam dan lingkungan hidup sehingga keberlanjutan pembangunan tetap
terjamin. Berikut Program Ekonomi melalui Kebijakan Konservasi ditujukan untuk
mempengaruhi para pengambil keputusan dengan cara memperlihatkan nilai-nilai
ekonomi dari keanekaragaman hayati, memperkuat strategi konservasi dengan
menggunakan sudut pandang ekonomi pada perencanaan konservasi yang lebih
terbuka dan terpadu, serta mengoptimalkan kinerja kegiatan konservasi dengan
menciptakan insentif ekonomi bagi pihak yang terlibat. Potensi yang ada pada
alam untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia yang sering disebut dengan natural resources bumi dengan segala
isinya yang terkandung di dalamnya disebut dengan alam dunia. Jika diperhatikan
secara teliti alam dunia dapat dikelompokkan atas 5 bagian yang berupa :
a) Atmosfer,
lapisan udara yang mengelilingi bumi.
b) Hidrosfer,
lapisan air yang ada di bumi berupa laut, danau, sungai, rawa, air tanah, es,
dan air di atmosfer.
c) Litosfer,
lapisan batuan yang menyusun kulit bumi termasuk di dalam tanah.
d) Biosfer,
kehidupan di bumi yang terdiri dari tumbuhan dan binatang.
e) Antroposfer,
yaitu manusia (penduduk bumi).
Kelima
kelompok alam tersebut merupakan sumber kehidupan yang mempunyai potensi saling
berkaitan untuk mendukung kehidupan yang semakin bertambah atas faktor angka
kelahiran, potensi alam dunia yang tersedia jumlahnya amat banyak dan beraneka
ragam seperti Mineral, energi, tumbuhan binatang, udara, iklim, air, bentang
alam berupa dataran, pegunungan, bahkan gurun mempunyai potensi untuk mendukung
kehidupan penduduk yang mempunyai kemampuan dalam pengelolaan Sumber Daya Alam.
Sudah
saatnya pemerintah mengubah paradigma tentang tata cara pengelolaan hutan yang
selalu beriorentasi kepada kebijakan sepihak pemerintah. Pemerintah harus
membuka mata bahwa melalui kearifan lokal yang dimiliki masyarakat adat akan
mampu menciptakan kelestarian hutan. Pemerintah harus bisa menyadari kelemahan
kebijakan yang selama ini dipaksakan kepada masyarakat adat yang nyata-nyatanya
merampas hak-hak mereka sendiri. Masyarakat adat sebagai komunitas yang
langsung membangun intraksi dengan hutan secara tidak langsung telah mempunyai
konsep aturan atau norma tersendiri bagaimana melestarikan hutan sehubungan dengan
fungsinya sebagai penyimpan berjuta ragam plasma nutfah serta penyangga atau
penyeimbang kelestarian alam (ekologi).
Aturan-aturan
atau norma-norma ini begitu arif tanpa mengundang rasa ketidak adilan
ditengan-tengah masyarakat. Misalnya, penelitian yang pernah dilakukan oleh
Qbar (2007) di tiga kabupaten seperti dalam masyarakat Nagari Kambang di
Kabupaten Pesisir Selatan salah satu daerah yang terdapat di Provinsi Sumatera
Barat bahwa masyarakat setempat dalam menjaga kelestarian hutan berlaku ketentuan
yang telah diadatkan yaitu sistem tebang pilih. Artinya kayu yang diperbolehkan
untuk ditebang oleh masyarakat yang memerlukannya baik untuk pembuatan
jembatan, masjid, balai adat, pembuatan rumah dan kepentingan lainnya adalah
kayu yang sudah berumur dan setiap kayu yang ditebang wajib diganti dengan
menanam kembali pohon yang baru.
Daftar
Pustaka
Aliadi,Arif.
2002, “Pengetahuan Lokal Untuk Konservasi Sumber Daya Hutan”, Makalah
Seminar Nasional Pengembangan Teknologi dan Budaya Lokal Sebagai Basis Pembangunan
Berkelanjutan. Institut Pertanian Bogor, Bogor
Dalam E
Suhendang (ed) 1995. “Menguak Permasalahan Pengeloalaan Hutan Alam
Tropis Di Indonesia”, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Purwanto, Y.
Efendi, Oscar. 2008. “Etnologi Masyarakat Maya di Teluk Manyailibit”,
Pulau Waiego Kab. Raja Ampat, Ekspedisi
Widya Nusantara, Puslit Biologi, LIPI, Bogor.
Anonim. 2002. “Studi
Hukum Pengelolaan Hutan oleh Masyarakat Adat”, Kerjasama WWF dengan
Institut Hukum Sumber Daya Alam (IHSA). Jambi.
UU No. 23 Tahun
1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup
Nabil Makarim,
2003, “Sambutan Dalam Seminar Pemikiran Perubahan UU No. 23 Tahun 1997 tentang
Pengelolaan Lingkungan Hidup”, tempatnya tidak disebutkan, Jakarta
Siti Sundari
Rangkuti, 2003, “Instrumen Hukum Pengelolaan Lingkungan Hidup”, Seminar Pemikiran Perubahan UU No. 23
Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, Jakarta, 2003
Bambang Soed, “Prof. Bismar Usul Pembentukan UU Privatisasi”
Tempo Interaktik, Edisi Sabtu, 17 April 2004
[1] Kementerian Lingskungan Hidup, UU
No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan
Lingkungan Hidup, Jakarta, 2004, hal. 29
[2] Nabil Makarim, Sambutan Dalam
Seminar Pemikiran Perubahan UU No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan
Hidup, Jakarta, 2003 hlm. 1
[3] Siti Sundari Rangkuti, Instrumen Hukum Pengelolaan Lingkungan
Hidup, Seminar Pemikiran Perubahan UU No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan
Lingkungan Hidup, Jakarta, 2003 hlm. 2
[5] Prof. Dr. Bismar Nasution SH., MH., mengusulkan perlunya UU Privatisasi.
Hal ini disampaikan Bismar dalam pidato pengukuhannya sebagai Guru Besar
Fakultas Hukum Universitas Sumatra Utara, Sabtu (17/4). Lihat tulisan Bambang
Soed, “Prof. Bismar Usul Pembentukan UU
Privatisasi” Tempo Interaktik, Edisi Sabtu, 17 April 2004 | 19:30 WIB.
[6] Perhatikan puluhan daerah yang ada di kecamatan Cibeber, Citangkil, dan
Suralaya yang kondisi kehutanannya sangat mempengaruhi kesejahteraan masyarakat
sekitarnya tidak akan terwujud atas kurang optimalnya pelestarian sumber daya
hutan khususnya di Kota Cilegon Provinsi Banten.
[7] Untuk lebih jelas mengenai luas kawasan konservasi perhatikan tulisan DIREKTORAT
JENDERAL PERLINDUNGAN HUTAN DAN KONSERVASI ALAM pada situs KEMENTERIAN
KEHUTANAN dengan Website http://www.ditjenphka.go.id/?Page=Static&ID=6.
[8]
Lihat UUD tahun 1945
menjelaskan pada Pasal 65 ayat (1) setiap rakyat berhak atas lingkungan hidup
yang baik dan sehat sebagai bagian dari hak asasi manusia.
[9]
Lihat UUD tahun 1945
menjelaskan pada Pasal 33 ayat (3) bahwa Bumi, air, dan kekayaan alam yang
terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar
kemakmuran rakyat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar